Jumat, 16 Maret 2012

My Wedding without you

Diposting oleh Altha Swita Abrianto di 9:28 PM 0 komentar

Aku mengendarai mobilku menuju rumah kekasihku, kekasih yang selama 3 tahun selalu menemaniku dan selalu mendukungku. Bagiku dia kekasih yang sejati, kekasih yang tak akan mampu aku temui lagi di sudut benua manapun.
Dia yang mampu mengubahku dari sosok yang tak berarti dimasa lalu menjadi seorang yang berhasil sekarang ini. Namanya Hyerin, Shin Hyerin. Gadis cantik serupa dengan bidadari ini membuatku sadar bahwa dunia ini indah dan sangat sia-sia bagiku untuk merusaknya.
Senyumnya yang manis yang membuatku kadang tak bisa tidur hanya karena membayangkannya.

Jumat, 02 Maret 2012

First Love [Donghae Version] - SongFict

Diposting oleh Altha Swita Abrianto di 8:32 PM 0 komentar

Title : First Love. Donghae Version (SongFict)
Author : AltRiseSilver
Cast : Lee Donghae, You
Genre : Romance
Rating : General


I'm your only oppa
You're my only girl
I will always be by your side

I'm your only oppa
Our love is so sweet
Oppa will only love you

“Donghae-ya,” panggil seseorang dari arah belakangku, aku menoleh. Seorang gadis yang mencuri hatiku sejak 6 tahun yang lalu berlari mengejar langkahku. “Panggil aku Oppa!” bentakku pelan saat ia berada disampingku, nafasnya terengah-engah. Aku sangat tahu kalau ia sangat benci berlari dan kakinya yang kecil itulah yang membuat larinya pendek-pendek.

“Aku tidak mau!” sergahnya masih tetap terengah-engah mengatur nafas. Aku merangkul pundaknya dan menuntunnya duduk di sebuah bangku yang tersedia di taman kampus. “Tunggu disini, aku segera kembali,” kataku padanya. Dia menatapku dan memanggilku namun aku tetap berjalan menuju kantin dan membelikan sebotol air mineral untuknya.

“Ini,” kataku sambil menyerahkan botol itu. Dia menatapku lalu meraih botol itu dan meminumnya hingga setengah. “Kau haus atau kelelahan?” tanyaku.

Dia hanya tersenyum lebar, memperlihatkan rentetan giginya yang putih dan rapi. Aku tersenyum lalu mengacak-acak rambutnya gemas. “Ya! Aku kan sudah merapikan rambutku, jangan hancurkan dandanku,” katanya dengan nada sebal sambil merapikan rambutnya.

Aku tertawa renyah. “Kau berdandan untukku?” tanyaku.

Dia melirikku lalu menjitak kepalaku pelan. “Percaya diri sekali kau ini, aku berdandan hanya untuk Mr. Kim” jawabnya sambil mengeluarkan seulas senyuman yang membuatku tak pernah bisa berhenti menghapusnya dari otakku.

Aku menatapnya kesal, aku tahu ia tidak bersungguh-sungguh berdandan untuk seorang dosen menyebalkan bernama Kim Heechul itu namun tetap saja bagiku itu bukan candaan yang bagus, dia gagal membuatku tertawa. Aku mendesah pelan.

“Aku ini Oppa-mu kan? Harusnya kau berdandan untukku bukan untuknya,” kataku dengan nada kecewa.

Dia menatapku sambil tetap tersenyum, sepertinya ia senang telah mengerjaiku. “Aku tidak suka senyummu itu,” kataku. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan menatap pepohonan ditaman ini, dia sukses membuatku cemburu dan aku tidak ingin ia mengetahuinya.

Aku tidak tahu apa yang dilakukannya sekarang, aku tidak mau menatapnya. Perlahan aku merasakan bahu sebelah kananku sedikit berat dan leherku tergelitik oleh rambut. Aku menoleh perlahan. Dia sedang menidurkan kepalanya di bahuku. “Saranghaeyo,” ucapnya perlahan namun dapat terdengar jelas di telingaku.
Aku tersenyum sekilas lalu melihat sebuah cincin yang dijadikannya liontin dikalungnya. Cincin saat pertama kali aku memintanya untuk menjadi kekasihku, cincin dengan ukiran namaku dan nama dirinya disana.

On February 2, 2006, you came to me like white snow
I remember you - even the slightest tremble
To you who leaned against me and fell fast asleep,
On your lips, I planted a sweet kiss

Aku menggenggam lembut tangannya. Hangat dan akan selalu hangat. Pikiranku tiba-tiba melayang pada sebuah memori kecil 6 tahun lalu. Memori saat ia masuk ke dalam kehidupanku dan membuat hidupku jauh lebih indah dari sebelumnya.

Flashback

“Permisi, aku dari Kimchi Restaurant mengantarkan makanan,” sapa seseorang dari balik pintu apartementku. Aku beranjak dari tempatku dan segera berlari menuju pintu, perutku sangat lapar dan membutuhkan asupan secepatnya.

“Selamat malam tuan,” sapa seorang gadis dengan sebuah bungkusan ditangannya saat aku membuka pintu apartementku.

Tak ada sapaan balasan yang keluar dari mulutku, aku terlalu fokus menatap mata bulat indah milik gadis itu. “Tuan?”

Sebuah tangan bergoyang didepanku dan membuatku kembali ke alam sadarku. Aku tersenyum padanya yang sudah terlebih dahulu tersenyum padaku. “Ini,” kataku sambil menyerahkan beberapa lembar uang kepadanya.

Dia sendiri menyerahkan bungkusan yang dipegangnya kepadaku.

“Terimakasih atas pesanannya,” katanya begitu ramah sambil membungkuk. Aku hanya tersenyum memandang wajahnya yang begitu hangat.

Saat dia berbalik dan meninggalkan tempatku, aku memanggilnya. “Ada apa tuan?” tanyanya sambil berjalan kembali ketempatnya. Aku terdiam, aku sendiri bingung kenapa aku memanggilnya, aku hanya ingin memandanginya lebih lama.

“Siapa namamu?” tanyaku.

Dia terkejut mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutku namun senyumnya kembali mengembang diwajahnya yang manis.

“Aku diperingatkan oleh orangtuaku untuk tidak memberitahu namaku pada orang asing, maaf,” jawabnya sambil membungkuk kemudian pergi meninggalkanku. Benar-benar menghilang dari balik lift.
Aku tertawa kecil. “Apa katanya? Orang asing? Lihat saja, aku tidak akan menjadi orang asing baginya,” kataku percaya diri sambil menutup pintu dan mulai mengeluarkan makanan pesananku.

-          3 bulan setelahnya –

“Please be mine,” kataku sambil mengulurkan tanganku yang menggenggam sebuah kotak berisi sebuah cincin dengan ukiran namaku dan namanya disana. Dia tersenyum, seolah menganggap apa yang aku katakana tadi hanya sebuah lelucon.

“Jangan bercanda Donghae-sshi,” katanya menggunakan panggilan formal. Aku menghela nafasku. “Kalau kau menerimaku, ambil cincin ini lalu kaitkan di jemari tengahmu. Kalau kau menolakku, ambil cincin ini lalu buanglah ke danau itu,” kataku lagi sambil menunjuk dengan dagu sebuah danau besar dihadapan kami.

Dia terperanjat, benar-benar tak menyangka aku akan mengatakan hal yang seserius itu. 3 bulan aku mengenalnya, mencoba mendekatinya, mengenalnya lebih jauh dan dalam kurun waktu singkat aku berani mengambil keputusan untuk menjadikannya milikku.

Dia menatap benda berkilauan ditanganku kemudian meraihnya perlahan. Aku memasukkan tanganku kedalam saku celana, siap menerima apa yang akan dijadikan keputusannya.
Berulang kali ia memandangku dan cincin itu secara bergantian, keraguan terlihat jelas dari pancaran matanya.

Aku menundukkan kepalaku seperti seorang pengecut. Aku benar-benar tidak berani menatap apa yang akan dilakukannya. Hingga beberapa menit tak ada yang dilakukannya, aku tak mendengar suara gemericik air namun aku juga tidak mendengar dia mengatakan sesuatu.

Aku mendongakkan kepalaku, menatap wajahnya yang kini terhias dengan sebuah senyuman yang selalu mampu membuatku gila. Kulihat kedua tangannya disembunyikan dibalik punggungnya. Aku tersenyum tipis.

“Kemana cincinku?” tanyaku dengan wajah yang dibuat keheranan. “Sudah kubuang,” jawabnya dengan nada sendu.

Aku meminimaliskan jarak kami. “Aku tidak mendengar suara gemericik air,” kataku sambil membelai wajahnya yang mulus dan putih. Kulihat ia seperti sedang menahan senyumannya teruari diwajahnya itu.

“Boleh kulihat kedua tanganmu?” tanyaku dengan senyum jahil. Berhasil, ia sekarang tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Kenapa? Apa ada yang kau sembunyikan?” tanyaku lagi padanya seraya mencoba melihat apa yang disembunyikannya. Dia melangkah mundur, mencoba menjauh dariku agar aku tidak bisa melihat. Aku tersenyum riang lalu melangkah mendekatinya. Semakin aku mencoba mendekat semakin berusaha dia menjauh dariku namun langkahnya yang kecil tentu tidak sebanding dengan langkah kakiku. Aku menangkapnya lebih tepatnya merengkuh pundaknya mendekat kepadaku.

Bisa kurasakan degup jantungnya sedang beradu kecepatan dengan jantungku. Aku menatap matanya yang juga sedang memandangku. “Donghae-sshi,” panggilnya.

Aku hanya tersenyum. “Panggil aku Oppa mulai sekarang,” kataku sambil menjauhkan jarak kami. Dia menggeleng kuat, tangannya masih tetap bersembunyi dibalik punggungnya. Aku meraih tangannya dan menatap cincin indah di jari manisnya.

“Panggil aku Oppa mulai sekarang,” ulangku lagi. Dia masih menggeleng.

“Panggil aku Oppa atau kau akan,”

“Akan apa?” timpalnya memotong pembicaraanku.

“Kau akan menerima akibatnya,” jawabku dengan senyuman jahil. Dia menatapku penuh kecurigaan kemudian berlari meninggalkanku. “Kya! Donghae-sshi mulai menggila!” teriaknya.

Aku menatapnya heran, apa katanya? Aku gila? Dan kenapa dia masih memanggilku Donghae-sshi? Err dasar yeoja keras kepala. “Ya! Panggil aku Oppa!!” bentakku kemudian berlari mengejarnya yang terus menjauh dariku.

Flashback end

“Donghae-ya,” panggil seseorang disampingku. Gadis ini, rupanya dia tertidur. “Panggil aku Oppa,” kataku mengulang permintaanku selama bertahun-tahun.

Ara ara.. Oppa, aku lapar,” katanya seraya menegakkan badannya.

Aku bangkit dari dudukku lalu mengulurkan tangan. “Kajja.”

“Kemana?” tanyanya, aku rasa dia belum sepenuhnya masuk kedalam dunia sadar. “Tentu saja pulang kerumah, kau lapar kan?”” kataku. “Tapi aku masih ada kelas,” jawabnya.

“Mata kuliah siapa?” tanyaku penasaran.

“Mr. Kim,” jawabnya malas. Aku tersenyum. “Kajja, kita pulang saja, aku tahu kau tidak pernah semangat dengan mata kuliahnya,” kataku sambil mengulurkan tanganku lagi padanya. Dia tersenyum kemudian meraih uluran tanganku lalu kami bergandengan menuju rumah kami.
Ya, rumah kami. Masih teringat bagaimana pertama kali saat kami menghuni rumah sederhana itu.

Flashback

“TADA!”

Aku membuka tanganku yang menutupi matanya. “Apa ini rumah kita?” tanyanya untuk pertama kali saat melihat sebuah rumah sederhana dihadapannya. Aku mengangguk. “Ayo masuk,” ajakku.

Aku menggandeng tangannya dan melenggang masuk kedalam rumah kami. Didalamnya sudah penuh dengan perabotan yang rapi berada ditempatnya, sebulan sebelumnya aku telah merapikan rumah ini dan menjadikannya kejutan dihari ulangtahun gadisku yang tengah menikmati pemandangan matanya.

“Kau suka?” tanyaku.

Dia mengangguk sambil tetap memandang semua perabotan. “Aku ingin melihat dapurnya,” katanya sambil berlalu. Aku membiarkannya masuk kedalam bagian rumah yang lain.

“Kya! Oppa aku menyukainya!” teriaknya dari dalam satu bagian rumah kami. Aku menghampirinya, dia sekarang berada didalam kamar kami. Ada sebuah kasur besar disana, namun bukan itu yang membuatnya terkejut tapi jendela besar yang menghadap ke sebuah taman yang aku buat untuknya.

“Aku akan kebelakang dulu,” katanya bersemangat sesaat setelah aku memasuki kamar. Ia keluar kamar dan tak lama aku menemukan dirinya tengah memandangi semua bunga yang kutanam untuknya di taman itu.

“Ya! Donghae-ya, kemari,” katanya sambil mengibaskan tangan padaku. Aku melakukan permintaannya. “Panggil aku Oppa,” kataku saat berada disampingnya. “Arassoe.. Kau lihat bunga ini? Aish kenapa begitu indah,” katanya sambil mengambil sebuah pot bunga dan menunjukkannya padaku, dia benar-benar tidak mempedulikan perkataanku tadi.

“Kau suka?” tanyaku.

Dia menoleh kearahku dan mengangguk. “Gomawo,” ujarnya kemudian dia memelukku.

Aku membalas pelukannya sambil sesekali mengelus rambutnya. “Ini sangat indah,” katanya disela pelukan kami.

Aku merengangkan pelukan kami dan memandangnya. “Menurutmu ini indah?” tanyaku, dia mengangguk. “Menurutku tidak, karena masih ada hal yang lebih indah daripada ini semua,” kataku.

“Apa itu?” tanyanya penasaran.

“Dirimu,” kataku. Berbarengan dengan jawabanku, aku mendekatkan wajahku padanya, menatap lekat matanya dan merasakan nafasnya menerpa wajahku. Aku tak melihat lagi ekspresi wajah gadisku ini saat bibir kami saling bertautan mesra.

Flashback end

I can only tell you that I love you
I can only tell you that I love you
This is all I can give to you

Eomma pulang,” sapanya saat kami memasuki rumah. Aku mengerutkan kening, tak ada sapaan balik untuknya. “Kau mengucapkan salam pada siapa?” tanyaku.

Dia menatapku sambil menunjukkan seringai senyumnya. “Calon anak-anak kita,” jawabnya polos. Aku menghampirinya dan memegang perutnya, “Kau hamil?” tanyaku dengan segala perasaan yang campur aduk.

Dia menggeleng. “Kita kan sudah berkomitmen tidak akan mempunyai anak sebelum kuliah kita selesai,” katanya. Aku menunduk lemas, kuakui kata-katanya benar, aku sendiri bahkan yang membuat kesepakatan itu. Walau sudah menjadi seorang komposer dan pencipta lagu aku masih takut untuk mempunyai anak disaat kami masih kuliah seperti ini.

“Hey, kenapa termenung?” tanyanya. Tangannya mengangkat wajahku.

“Tiba-tiba aku ingin membatalkan komitmen itu,” ujarku membuatnya tersentak ditempatnya.

“Aku tidak mau, kau laki-laki ‘kan? Seharusnya kau tidak mengingkari janjimu sendiri, aku tidak mau kau menjadi laki-laki seperti itu,” jawabnya dengan nada tegas. Aku memandanginya. Merengkuh pundaknya lalu memeluknya erat. “Aku mencintaimu,” ujarku. Didalam pelukanku, aku bisa merasakan kepalanya mengangguk.

Snow is falling outside the window
Underneath the streetlight
You and I are there

I'm your only oppa
You're my only girl
Oppa only wants to love you

Oppa, kemarilah,” panggil gadisku yang sedang terduduk didepan jendela. “Ada apa?” tanyaku tanpa melepas pandanganku dari komputer yang membuatku sibuk. “Cepat, kemarilah,” panggilnya lagi.

Aku mendongakkan kepalaku dan melihatnya masih sibuk memandang kearah luar. Aku menghampirinya. “Ada apa sayang?” tanyaku.

“Lihat, salju mulai turun,” ujarnya senang. Aku menatap keluar, benar apa yang dikatakannya, salju putih itu perlahan turun dan menabrakkan dirinya ke tanah. “Aku selalu suka musim dingin,” katanya lagi. Aku mengecup puncak kepalanya.

“Aku tahu,” ujarku.

“Sayang, lihat aku,” kataku dengan nada serius. Dia menoleh dan menatapku dengan tatapan bingung. “Wae?” tanyanya bingung. Aku memandanginya, menyentuh pipinya dan mengelusnya. “Panggil aku Oppa setelah kita punya anak, jangan ajarkan hal yang buruk pada anak kita nanti,” ujarku.

Dia tertawa kecil.

Ara ara, aku akan menurutinya Oppa,” jawabnya. Aku mencubit pipinya gemas. “Dasar gadis badung,” kataku. Dia masih tertawa kali ini lebih besar.

“Tapi berjanjilah padaku satu hal,” pintanya. Aku mengerutkan kening. Selama 6 tahun kami bersama baru kali ini ia memintaku untuk berjanji. Aku mengangguk. “Cintamu harus terus bertambah saat aku memanggil Oppa,” katanya.

Aku tersenyum memamerkan gigiku. “Tidak perlu kau pinta cintaku ini akan terus untukmu, apa yang ada dihatiku ini adalah milikmu, semua tentangmu sudah terekam manis dalam otakku dan hatiku jadi kau tidak perlu takut aku melupakanmu atau meninggalkanmu, aku hanya mencintaimu,” jawabku panjang lebar.

Dia tersenyum lalu menghamburkan tubuhnya ke pelukanku. “Hanya kau yang membuatku buta seperti ini sayang,” bisikku ditelinganya. Ia tersipu. “Dan hanya kau yang membuatku tidak mampu melepasmu, Oppa.”

The End.

Kamis, 01 Maret 2012

Triangle Love [Prolog]

Diposting oleh Altha Swita Abrianto di 7:15 PM 0 komentar
 Mataku berkunang-kunang..
Layar putih yang mengelilingiku berubah menjadi layar hitam..

 Aku tercekat..
Mataku menerawang.. Mencari siapapun yang aku kenal

Kosong.
Ruangan hitam ini kosong!

Aku ingin berteriak, namun suaraku tertahan ditenggorokkan.
Aku mulai memejamkan mataku..
 Berharap saat membukanya aku akan menemukan titik cahaya yang membantu..

Ku buka perlahan..
Kilatan cahaya terpantul di retina mataku..
"Ah." Akhirnya suaraku keluar juga.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, menyesuaikan dengan cahaya yang terang itu.
"A-Aku dimana?" tanyaku pada langit-langit kosong.
Tak ada yang menjawab.

Aku terduduk. Melihat sekelilingku,
Namun aku tidak tahu dimana keberadaanku.

Aku menyentuh punggungku. Aku merasakan ada yang hilang.
"Apa? Aku kehilangan apa?" tanyaku pada ruangan itu.

Aku mulai beranjak. Berjalan menuju cermin di dinding sebelah sana.
"Apa itu aku?" tanyaku saat pantulan cermin menunjukkan sosok seorang gadis disana.

Aku menyentuh wajahku, memandang tak percaya kearah sana.
"Ini bukan aku, ini bukan diriku."

Jumat, 16 Maret 2012

My Wedding without you

Karya : Altha Swita Abrianto di 9:28 PM 0 komentar

Aku mengendarai mobilku menuju rumah kekasihku, kekasih yang selama 3 tahun selalu menemaniku dan selalu mendukungku. Bagiku dia kekasih yang sejati, kekasih yang tak akan mampu aku temui lagi di sudut benua manapun.
Dia yang mampu mengubahku dari sosok yang tak berarti dimasa lalu menjadi seorang yang berhasil sekarang ini. Namanya Hyerin, Shin Hyerin. Gadis cantik serupa dengan bidadari ini membuatku sadar bahwa dunia ini indah dan sangat sia-sia bagiku untuk merusaknya.
Senyumnya yang manis yang membuatku kadang tak bisa tidur hanya karena membayangkannya.

Jumat, 02 Maret 2012

First Love [Donghae Version] - SongFict

Karya : Altha Swita Abrianto di 8:32 PM 0 komentar

Title : First Love. Donghae Version (SongFict)
Author : AltRiseSilver
Cast : Lee Donghae, You
Genre : Romance
Rating : General


I'm your only oppa
You're my only girl
I will always be by your side

I'm your only oppa
Our love is so sweet
Oppa will only love you

“Donghae-ya,” panggil seseorang dari arah belakangku, aku menoleh. Seorang gadis yang mencuri hatiku sejak 6 tahun yang lalu berlari mengejar langkahku. “Panggil aku Oppa!” bentakku pelan saat ia berada disampingku, nafasnya terengah-engah. Aku sangat tahu kalau ia sangat benci berlari dan kakinya yang kecil itulah yang membuat larinya pendek-pendek.

“Aku tidak mau!” sergahnya masih tetap terengah-engah mengatur nafas. Aku merangkul pundaknya dan menuntunnya duduk di sebuah bangku yang tersedia di taman kampus. “Tunggu disini, aku segera kembali,” kataku padanya. Dia menatapku dan memanggilku namun aku tetap berjalan menuju kantin dan membelikan sebotol air mineral untuknya.

“Ini,” kataku sambil menyerahkan botol itu. Dia menatapku lalu meraih botol itu dan meminumnya hingga setengah. “Kau haus atau kelelahan?” tanyaku.

Dia hanya tersenyum lebar, memperlihatkan rentetan giginya yang putih dan rapi. Aku tersenyum lalu mengacak-acak rambutnya gemas. “Ya! Aku kan sudah merapikan rambutku, jangan hancurkan dandanku,” katanya dengan nada sebal sambil merapikan rambutnya.

Aku tertawa renyah. “Kau berdandan untukku?” tanyaku.

Dia melirikku lalu menjitak kepalaku pelan. “Percaya diri sekali kau ini, aku berdandan hanya untuk Mr. Kim” jawabnya sambil mengeluarkan seulas senyuman yang membuatku tak pernah bisa berhenti menghapusnya dari otakku.

Aku menatapnya kesal, aku tahu ia tidak bersungguh-sungguh berdandan untuk seorang dosen menyebalkan bernama Kim Heechul itu namun tetap saja bagiku itu bukan candaan yang bagus, dia gagal membuatku tertawa. Aku mendesah pelan.

“Aku ini Oppa-mu kan? Harusnya kau berdandan untukku bukan untuknya,” kataku dengan nada kecewa.

Dia menatapku sambil tetap tersenyum, sepertinya ia senang telah mengerjaiku. “Aku tidak suka senyummu itu,” kataku. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan menatap pepohonan ditaman ini, dia sukses membuatku cemburu dan aku tidak ingin ia mengetahuinya.

Aku tidak tahu apa yang dilakukannya sekarang, aku tidak mau menatapnya. Perlahan aku merasakan bahu sebelah kananku sedikit berat dan leherku tergelitik oleh rambut. Aku menoleh perlahan. Dia sedang menidurkan kepalanya di bahuku. “Saranghaeyo,” ucapnya perlahan namun dapat terdengar jelas di telingaku.
Aku tersenyum sekilas lalu melihat sebuah cincin yang dijadikannya liontin dikalungnya. Cincin saat pertama kali aku memintanya untuk menjadi kekasihku, cincin dengan ukiran namaku dan nama dirinya disana.

On February 2, 2006, you came to me like white snow
I remember you - even the slightest tremble
To you who leaned against me and fell fast asleep,
On your lips, I planted a sweet kiss

Aku menggenggam lembut tangannya. Hangat dan akan selalu hangat. Pikiranku tiba-tiba melayang pada sebuah memori kecil 6 tahun lalu. Memori saat ia masuk ke dalam kehidupanku dan membuat hidupku jauh lebih indah dari sebelumnya.

Flashback

“Permisi, aku dari Kimchi Restaurant mengantarkan makanan,” sapa seseorang dari balik pintu apartementku. Aku beranjak dari tempatku dan segera berlari menuju pintu, perutku sangat lapar dan membutuhkan asupan secepatnya.

“Selamat malam tuan,” sapa seorang gadis dengan sebuah bungkusan ditangannya saat aku membuka pintu apartementku.

Tak ada sapaan balasan yang keluar dari mulutku, aku terlalu fokus menatap mata bulat indah milik gadis itu. “Tuan?”

Sebuah tangan bergoyang didepanku dan membuatku kembali ke alam sadarku. Aku tersenyum padanya yang sudah terlebih dahulu tersenyum padaku. “Ini,” kataku sambil menyerahkan beberapa lembar uang kepadanya.

Dia sendiri menyerahkan bungkusan yang dipegangnya kepadaku.

“Terimakasih atas pesanannya,” katanya begitu ramah sambil membungkuk. Aku hanya tersenyum memandang wajahnya yang begitu hangat.

Saat dia berbalik dan meninggalkan tempatku, aku memanggilnya. “Ada apa tuan?” tanyanya sambil berjalan kembali ketempatnya. Aku terdiam, aku sendiri bingung kenapa aku memanggilnya, aku hanya ingin memandanginya lebih lama.

“Siapa namamu?” tanyaku.

Dia terkejut mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutku namun senyumnya kembali mengembang diwajahnya yang manis.

“Aku diperingatkan oleh orangtuaku untuk tidak memberitahu namaku pada orang asing, maaf,” jawabnya sambil membungkuk kemudian pergi meninggalkanku. Benar-benar menghilang dari balik lift.
Aku tertawa kecil. “Apa katanya? Orang asing? Lihat saja, aku tidak akan menjadi orang asing baginya,” kataku percaya diri sambil menutup pintu dan mulai mengeluarkan makanan pesananku.

-          3 bulan setelahnya –

“Please be mine,” kataku sambil mengulurkan tanganku yang menggenggam sebuah kotak berisi sebuah cincin dengan ukiran namaku dan namanya disana. Dia tersenyum, seolah menganggap apa yang aku katakana tadi hanya sebuah lelucon.

“Jangan bercanda Donghae-sshi,” katanya menggunakan panggilan formal. Aku menghela nafasku. “Kalau kau menerimaku, ambil cincin ini lalu kaitkan di jemari tengahmu. Kalau kau menolakku, ambil cincin ini lalu buanglah ke danau itu,” kataku lagi sambil menunjuk dengan dagu sebuah danau besar dihadapan kami.

Dia terperanjat, benar-benar tak menyangka aku akan mengatakan hal yang seserius itu. 3 bulan aku mengenalnya, mencoba mendekatinya, mengenalnya lebih jauh dan dalam kurun waktu singkat aku berani mengambil keputusan untuk menjadikannya milikku.

Dia menatap benda berkilauan ditanganku kemudian meraihnya perlahan. Aku memasukkan tanganku kedalam saku celana, siap menerima apa yang akan dijadikan keputusannya.
Berulang kali ia memandangku dan cincin itu secara bergantian, keraguan terlihat jelas dari pancaran matanya.

Aku menundukkan kepalaku seperti seorang pengecut. Aku benar-benar tidak berani menatap apa yang akan dilakukannya. Hingga beberapa menit tak ada yang dilakukannya, aku tak mendengar suara gemericik air namun aku juga tidak mendengar dia mengatakan sesuatu.

Aku mendongakkan kepalaku, menatap wajahnya yang kini terhias dengan sebuah senyuman yang selalu mampu membuatku gila. Kulihat kedua tangannya disembunyikan dibalik punggungnya. Aku tersenyum tipis.

“Kemana cincinku?” tanyaku dengan wajah yang dibuat keheranan. “Sudah kubuang,” jawabnya dengan nada sendu.

Aku meminimaliskan jarak kami. “Aku tidak mendengar suara gemericik air,” kataku sambil membelai wajahnya yang mulus dan putih. Kulihat ia seperti sedang menahan senyumannya teruari diwajahnya itu.

“Boleh kulihat kedua tanganmu?” tanyaku dengan senyum jahil. Berhasil, ia sekarang tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Kenapa? Apa ada yang kau sembunyikan?” tanyaku lagi padanya seraya mencoba melihat apa yang disembunyikannya. Dia melangkah mundur, mencoba menjauh dariku agar aku tidak bisa melihat. Aku tersenyum riang lalu melangkah mendekatinya. Semakin aku mencoba mendekat semakin berusaha dia menjauh dariku namun langkahnya yang kecil tentu tidak sebanding dengan langkah kakiku. Aku menangkapnya lebih tepatnya merengkuh pundaknya mendekat kepadaku.

Bisa kurasakan degup jantungnya sedang beradu kecepatan dengan jantungku. Aku menatap matanya yang juga sedang memandangku. “Donghae-sshi,” panggilnya.

Aku hanya tersenyum. “Panggil aku Oppa mulai sekarang,” kataku sambil menjauhkan jarak kami. Dia menggeleng kuat, tangannya masih tetap bersembunyi dibalik punggungnya. Aku meraih tangannya dan menatap cincin indah di jari manisnya.

“Panggil aku Oppa mulai sekarang,” ulangku lagi. Dia masih menggeleng.

“Panggil aku Oppa atau kau akan,”

“Akan apa?” timpalnya memotong pembicaraanku.

“Kau akan menerima akibatnya,” jawabku dengan senyuman jahil. Dia menatapku penuh kecurigaan kemudian berlari meninggalkanku. “Kya! Donghae-sshi mulai menggila!” teriaknya.

Aku menatapnya heran, apa katanya? Aku gila? Dan kenapa dia masih memanggilku Donghae-sshi? Err dasar yeoja keras kepala. “Ya! Panggil aku Oppa!!” bentakku kemudian berlari mengejarnya yang terus menjauh dariku.

Flashback end

“Donghae-ya,” panggil seseorang disampingku. Gadis ini, rupanya dia tertidur. “Panggil aku Oppa,” kataku mengulang permintaanku selama bertahun-tahun.

Ara ara.. Oppa, aku lapar,” katanya seraya menegakkan badannya.

Aku bangkit dari dudukku lalu mengulurkan tangan. “Kajja.”

“Kemana?” tanyanya, aku rasa dia belum sepenuhnya masuk kedalam dunia sadar. “Tentu saja pulang kerumah, kau lapar kan?”” kataku. “Tapi aku masih ada kelas,” jawabnya.

“Mata kuliah siapa?” tanyaku penasaran.

“Mr. Kim,” jawabnya malas. Aku tersenyum. “Kajja, kita pulang saja, aku tahu kau tidak pernah semangat dengan mata kuliahnya,” kataku sambil mengulurkan tanganku lagi padanya. Dia tersenyum kemudian meraih uluran tanganku lalu kami bergandengan menuju rumah kami.
Ya, rumah kami. Masih teringat bagaimana pertama kali saat kami menghuni rumah sederhana itu.

Flashback

“TADA!”

Aku membuka tanganku yang menutupi matanya. “Apa ini rumah kita?” tanyanya untuk pertama kali saat melihat sebuah rumah sederhana dihadapannya. Aku mengangguk. “Ayo masuk,” ajakku.

Aku menggandeng tangannya dan melenggang masuk kedalam rumah kami. Didalamnya sudah penuh dengan perabotan yang rapi berada ditempatnya, sebulan sebelumnya aku telah merapikan rumah ini dan menjadikannya kejutan dihari ulangtahun gadisku yang tengah menikmati pemandangan matanya.

“Kau suka?” tanyaku.

Dia mengangguk sambil tetap memandang semua perabotan. “Aku ingin melihat dapurnya,” katanya sambil berlalu. Aku membiarkannya masuk kedalam bagian rumah yang lain.

“Kya! Oppa aku menyukainya!” teriaknya dari dalam satu bagian rumah kami. Aku menghampirinya, dia sekarang berada didalam kamar kami. Ada sebuah kasur besar disana, namun bukan itu yang membuatnya terkejut tapi jendela besar yang menghadap ke sebuah taman yang aku buat untuknya.

“Aku akan kebelakang dulu,” katanya bersemangat sesaat setelah aku memasuki kamar. Ia keluar kamar dan tak lama aku menemukan dirinya tengah memandangi semua bunga yang kutanam untuknya di taman itu.

“Ya! Donghae-ya, kemari,” katanya sambil mengibaskan tangan padaku. Aku melakukan permintaannya. “Panggil aku Oppa,” kataku saat berada disampingnya. “Arassoe.. Kau lihat bunga ini? Aish kenapa begitu indah,” katanya sambil mengambil sebuah pot bunga dan menunjukkannya padaku, dia benar-benar tidak mempedulikan perkataanku tadi.

“Kau suka?” tanyaku.

Dia menoleh kearahku dan mengangguk. “Gomawo,” ujarnya kemudian dia memelukku.

Aku membalas pelukannya sambil sesekali mengelus rambutnya. “Ini sangat indah,” katanya disela pelukan kami.

Aku merengangkan pelukan kami dan memandangnya. “Menurutmu ini indah?” tanyaku, dia mengangguk. “Menurutku tidak, karena masih ada hal yang lebih indah daripada ini semua,” kataku.

“Apa itu?” tanyanya penasaran.

“Dirimu,” kataku. Berbarengan dengan jawabanku, aku mendekatkan wajahku padanya, menatap lekat matanya dan merasakan nafasnya menerpa wajahku. Aku tak melihat lagi ekspresi wajah gadisku ini saat bibir kami saling bertautan mesra.

Flashback end

I can only tell you that I love you
I can only tell you that I love you
This is all I can give to you

Eomma pulang,” sapanya saat kami memasuki rumah. Aku mengerutkan kening, tak ada sapaan balik untuknya. “Kau mengucapkan salam pada siapa?” tanyaku.

Dia menatapku sambil menunjukkan seringai senyumnya. “Calon anak-anak kita,” jawabnya polos. Aku menghampirinya dan memegang perutnya, “Kau hamil?” tanyaku dengan segala perasaan yang campur aduk.

Dia menggeleng. “Kita kan sudah berkomitmen tidak akan mempunyai anak sebelum kuliah kita selesai,” katanya. Aku menunduk lemas, kuakui kata-katanya benar, aku sendiri bahkan yang membuat kesepakatan itu. Walau sudah menjadi seorang komposer dan pencipta lagu aku masih takut untuk mempunyai anak disaat kami masih kuliah seperti ini.

“Hey, kenapa termenung?” tanyanya. Tangannya mengangkat wajahku.

“Tiba-tiba aku ingin membatalkan komitmen itu,” ujarku membuatnya tersentak ditempatnya.

“Aku tidak mau, kau laki-laki ‘kan? Seharusnya kau tidak mengingkari janjimu sendiri, aku tidak mau kau menjadi laki-laki seperti itu,” jawabnya dengan nada tegas. Aku memandanginya. Merengkuh pundaknya lalu memeluknya erat. “Aku mencintaimu,” ujarku. Didalam pelukanku, aku bisa merasakan kepalanya mengangguk.

Snow is falling outside the window
Underneath the streetlight
You and I are there

I'm your only oppa
You're my only girl
Oppa only wants to love you

Oppa, kemarilah,” panggil gadisku yang sedang terduduk didepan jendela. “Ada apa?” tanyaku tanpa melepas pandanganku dari komputer yang membuatku sibuk. “Cepat, kemarilah,” panggilnya lagi.

Aku mendongakkan kepalaku dan melihatnya masih sibuk memandang kearah luar. Aku menghampirinya. “Ada apa sayang?” tanyaku.

“Lihat, salju mulai turun,” ujarnya senang. Aku menatap keluar, benar apa yang dikatakannya, salju putih itu perlahan turun dan menabrakkan dirinya ke tanah. “Aku selalu suka musim dingin,” katanya lagi. Aku mengecup puncak kepalanya.

“Aku tahu,” ujarku.

“Sayang, lihat aku,” kataku dengan nada serius. Dia menoleh dan menatapku dengan tatapan bingung. “Wae?” tanyanya bingung. Aku memandanginya, menyentuh pipinya dan mengelusnya. “Panggil aku Oppa setelah kita punya anak, jangan ajarkan hal yang buruk pada anak kita nanti,” ujarku.

Dia tertawa kecil.

Ara ara, aku akan menurutinya Oppa,” jawabnya. Aku mencubit pipinya gemas. “Dasar gadis badung,” kataku. Dia masih tertawa kali ini lebih besar.

“Tapi berjanjilah padaku satu hal,” pintanya. Aku mengerutkan kening. Selama 6 tahun kami bersama baru kali ini ia memintaku untuk berjanji. Aku mengangguk. “Cintamu harus terus bertambah saat aku memanggil Oppa,” katanya.

Aku tersenyum memamerkan gigiku. “Tidak perlu kau pinta cintaku ini akan terus untukmu, apa yang ada dihatiku ini adalah milikmu, semua tentangmu sudah terekam manis dalam otakku dan hatiku jadi kau tidak perlu takut aku melupakanmu atau meninggalkanmu, aku hanya mencintaimu,” jawabku panjang lebar.

Dia tersenyum lalu menghamburkan tubuhnya ke pelukanku. “Hanya kau yang membuatku buta seperti ini sayang,” bisikku ditelinganya. Ia tersipu. “Dan hanya kau yang membuatku tidak mampu melepasmu, Oppa.”

The End.

Kamis, 01 Maret 2012

Triangle Love [Prolog]

Karya : Altha Swita Abrianto di 7:15 PM 0 komentar
 Mataku berkunang-kunang..
Layar putih yang mengelilingiku berubah menjadi layar hitam..

 Aku tercekat..
Mataku menerawang.. Mencari siapapun yang aku kenal

Kosong.
Ruangan hitam ini kosong!

Aku ingin berteriak, namun suaraku tertahan ditenggorokkan.
Aku mulai memejamkan mataku..
 Berharap saat membukanya aku akan menemukan titik cahaya yang membantu..

Ku buka perlahan..
Kilatan cahaya terpantul di retina mataku..
"Ah." Akhirnya suaraku keluar juga.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, menyesuaikan dengan cahaya yang terang itu.
"A-Aku dimana?" tanyaku pada langit-langit kosong.
Tak ada yang menjawab.

Aku terduduk. Melihat sekelilingku,
Namun aku tidak tahu dimana keberadaanku.

Aku menyentuh punggungku. Aku merasakan ada yang hilang.
"Apa? Aku kehilangan apa?" tanyaku pada ruangan itu.

Aku mulai beranjak. Berjalan menuju cermin di dinding sebelah sana.
"Apa itu aku?" tanyaku saat pantulan cermin menunjukkan sosok seorang gadis disana.

Aku menyentuh wajahku, memandang tak percaya kearah sana.
"Ini bukan aku, ini bukan diriku."
Copy Paste hukumannya di penjara 5 tahun lho :). Diberdayakan oleh Blogger.
 

A L T R I S E S I L V E R Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting