Jumat, 16 Maret 2012

My Wedding without you

Diposting oleh Altha Swita Abrianto di 9:28 PM

Aku mengendarai mobilku menuju rumah kekasihku, kekasih yang selama 3 tahun selalu menemaniku dan selalu mendukungku. Bagiku dia kekasih yang sejati, kekasih yang tak akan mampu aku temui lagi di sudut benua manapun.
Dia yang mampu mengubahku dari sosok yang tak berarti dimasa lalu menjadi seorang yang berhasil sekarang ini. Namanya Hyerin, Shin Hyerin. Gadis cantik serupa dengan bidadari ini membuatku sadar bahwa dunia ini indah dan sangat sia-sia bagiku untuk merusaknya.
Senyumnya yang manis yang membuatku kadang tak bisa tidur hanya karena membayangkannya.



Aku memarkir mobilku di depan rumahnya, membuka pintu, turun dari mobil dan mengetuk pintu rumahnya. Tak lama pintu terbuka dan Hyerin berada di balik pintu tersebut. Dia menyambutku dengan pelukan hangat seperti biasanya lalu kemudian mencium pipiku.

"Jadi pergi?" tanyaku saat ia melepas pelukannya.
Ia mengangguk kemudian menutup pintu. Aku menggenggam tangannya dan kami berjalan menuju mobil. Aku menatap wajahnya sekilas sebelum aku menancap gas dan pergi ke toko kue untuk memesan kue pernikahan kami. Iya, kami akan menikah beberapa hari lagi, dan ini tahap terakhir persiapan kami. Memesan kue pernikahan yang diinginkan Hyerin selama ini.
“Kenapa menatapku seperti itu Oppa?” tanyanya menyadari aku masih memerhatikan lekuk wajahnya yang mempesona, aku tersenyum lalu menyentuh pipinya yang menggemaskan. “Boleh aku meminta satu hal?” tanyaku.
Dia menatapku bingung namun tetap mengangguk.
“Aku boleh menciummu?” tanyaku memberanikan diri, aku takut ia marah atas permintaanku yang lancang ini. “Nanti saja kalau kita sudah menikah,” jawabnya sambil tertawa kecil. Aku menggeleng, “Aku ingin sekarang, manis,” kataku sambil memajukan badanku padanya.
Dia membulatkan matanya, aku tak peduli lagi apa yang akan ia lakukan yang penting sekarang aku akan merebut ciuman pertamanya.
-oo-
Flashback
“Kau mau menjadi gadisku?” tanya Jongwoon kepada gadis dihadapannya yang sedang terbujur tak berdaya diatas kasur rumah sakit.
“Tidak bisakah kau melakukannya lebih romantis lagi?” tanya Hyerin sambil tersenyum lemah. Jongwoon mencibirnya, “Ya! Kau kan tahu aku bukan tipe orang seperti itu!” gertaknya kesal. Hyerin hanya tertawa mendengar bentakkan Jongwoon itu.
“Setidaknya tunggu aku pulang  dari rumah sakit Oppa,” kata Hyerin.
Raut wajah Jongwoon berubah saat Hyerin memanggilnya dengan sebutan Oppa, ini pertama kalinya semenjak 6 bulan mereka saling mengenal dan Hyerin memanggilnya dengan sebutan Oppa. “Kau memanggilku apa?” tanya Jongwoon meminta Hyerin mengulang panggilannya.
Hyerin yang memang jahil hanya mengulurkan lidahnya lalu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Jongwoon berusaha merebut selimut tersebut dan memaksa Hyerin mengucapkan kalimatnya lagi.
“Ya! Ya! Jongwoon-sshi, hentikan!” teriaknya. “Katakan hal yang ingin kudengar,” pinta Jongwoon sambil terus menarik selimutnya.
Saranghaeyo Oppa,” katanya. Jongwoon berhenti menarik selimutnya. Hyerin membelakangi tubuhnya dan menahan senyumnya yang kini menghiasi wajahnya.
Jongwoon membalikkan badan Hyerin menghadapnya. “Katakan sekali lagi,” kata Jongwoon dengan raut wajah yang serius. Hyerin tersenyum manis, Jongwoon hampir saja pingsan melihat senyum gadis yang ia cintai ini.
Saranghaeyo, jeongmal saranghaeyo,” kata Hyerin. Jongwoon mengecup kening gadisnya, tak perlu lagi ia mengulang pertanyaannya apakah gadis ini mau menjadi kekasihnya. Ia benar-benar senang saat ini, seperti terbang menyusuri langit yang entah dimana ujungnya.
-oo-
Hyerin mengerucutkan bibirnya saat aku melepas ciuman pertama kami. “Oppa curang,” sungutnya marah.
Aku menahan senyumku, aku sebenarnya ingin sekali tertawa melihat raut wajahnya saat ini karena aku tahu dia hanya berpura-pura. Dia tidak bisa membohongiku.
“Benarkah kau begitu marah? Aku calon suamimu,” kataku yang pura-pura marah juga. Dia masih mengerucutkan bibirnya dan memalingkan wajahnya dariku. Aish dasar yeoja manja, batinku. “Aku tidak bisa menahannya Jagiya,” kataku kemudian mencium pipinya yang mulus dan putih bersih.
Aku meliriknya sekilas, dia memejamkan matanya dan pipinya sedikit terangkat. Seulas senyum berhasil kukembalikan di wajahnya.
Mianhe,” kataku. Dia hanya tersenyum. Sungguh aku bisa gila menatap senyumnya yang tidak pernah berubah sejak kami bertemu. “Kajja, nanti tokonya tutup Oppa,” kata Hyerin mengingatkanku harus segera pergi ke toko kue itu. Aku mengangguk lalu menyalakan mesinku dan melajukannya ke tempat tujuan kami.
Sepanjang perjalanan kami terus tertawa, menceritakan hal lucu yang sebenarnya bisa dikatakan basi untuk di ceritakan lagi.
Melihatnya tertawa semakin membuatku senang, aku takut kehilangan tawa itu, aku takut kehilangan dirinya.
-oo-
Flashback
Jongwoon masih berada dalam pelukan Hyerin, menangis sejadi mungkin dan sekeras mungkin. Gadis yang memeluknya ikut menangis, ia tidak sanggup menahan airmatanya mendengar tangisan pria yang baru dikenalnya beberapa hari yang lalu.
“Aku bosan hidup seperti ini,” kata Jongwoon ditengah isak tangisnya. Hyerin mengelus rambut pria itu. “Aku ingin mati,” katanya lagi, kali ini hampir berteriak. Hyerin menggeleng. “Jangan, jangan menyakiti dirimu, kumohon jangan,” cegahnya.
“Kau pikir kau siapa melarang keinginanku?!” bentak Jongwoon sambil melepaskan pelukan Hyerin. Hyerin terhempas menabrak lemari dibelakangnya.
Ia menangis semakin keras, punggungnya sakit. Jongwoon yang melihat perlakuan kasarnya pada Hyerin menghampirinya. Ia menyapu airmatanya dan menggendong Hyerin ke kasurnya. Hyerin melenguh kesakitan saat punggungnya menyentuh kasur Jongwoon, walaupun empuk tapi ia merasa punggungnya seperti dihantam benda tumpul.
“Dimana yang sakit?” tanya Jongwoon terlihat khawatir, ia mencoba memiringkan badan Hyerin namun gadis itu menolak.
“Perasaanku yang sakit,” jawab Hyerin. Jongwoon terduduk lemas, gadis yang dikenalnya beberapa hari ini membuatnya bingung. Ia seperti malaikat yang datang untuk menyembuhkan luka hidupnya.
“Kumohon beritahu aku dimana yang sakit?” tanya Jongwoon lagi dengan nada memelas sambil menggenggam tangan Hyerin. “Sudah kubilang, perasaanku yang sakit,” jawabnya dengan kalimat yang sama.
“Kalau begitu katakan apa maumu?” tanya Jongwoon putus asa. Hyerin hanya tersenyum. “Aku hanya mau dirimu,” katanya perlahan.
Jongwoon menunduk tak berani menatap gadis itu. Hyerin benar-benar ingin merubah hidupnya. Jongwoon mengangkat kepalanya, dilihat Hyerin memejamkan matanya. Dia yakin Hyerin sedang tidur sekarang, seharian ini ia mengikuti kemana saja Jongwoon pergi dan barusan pria itu mendorongnya hingga Hyerin menabrak lemari.
“Buat aku berubah Hyerin-sshi,” bisik Jongwoon ditelinga Hyerin.
-oo-
Akhirnya kami sampai di toko kue itu karena tempat parkir mobil di dalam gedung penuh aku harus memarkir mobilku diseberang jalan.
Hyerin yang bersemangat turun dari mobil dan berjalan duluan meninggalkanku yang masih didalam mobil. Saat mengunci pintu dan berjalan sebentar, aku mendengar suara decit mobil disusul suara hantaman.
Aku terperangah, menatap apa yang terjadi kemudian berlari. Aku menyeruak ke kerumunan dan menghampiri tubuh berlumuran darah itu.
Hyerin membuka matanya, dia menatapku dan mulai berbicara kata perkata "Aku mencintaimu Oppa.” Hanya itu kalimat yang dapat di keluarkannya kemudian ia menutup matanya lagi. Aku menitikkan airmataku dan mulai memandangi kerumunan orang-orang itu.
“Panggil ambulance! Cepat!” bentakku pada mereka. Aku mencoba membangunkan Hyerin, aku tak ingin ia menutup matanya. Aku tidak mau.

Aku gelisah, Hyerin berada di ruang ICU sekarang namun aku tak tenang. Aku takut sesuatu terjadi padanya, aku takut ia pergi meninggalkanku dan semua rencanaku hancur begitu saja.
Dokter keluar dari ruang ICU, aku langsung menghampirinya dan menanyakan keadaan Hyerin. Dokter hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah katapun untukku kemudian ia pergi, aku diam, aku tahu maksudnya.
Perlahan aku membuka pinta ruang ICU dan melihat beberapa suster mencabut segala peralatan medis. Aku menghampiri tubuh kakunya, menghampiri kekasihku yang tak mampu lagi tersenyum bahkan membuka mata.
Aku menangis dan memeluk tubuhnya. Dingin, tak hangat seperti biasanya. Suster-suster itu membiarkanku, mereka tau bagaimana rasanya kehilangan dan mereka tau bagaimana harus bersikap.
-oo-
Flashback
“Sepertinya orangtuamu tidak menyukaiku,” kata Jongwoon membuka pembicaraan saat dirinya dan Hyerin keluar dari rumah Hyerin untuk pergi berjalan-jalan. Hyerin baru saja memperkenalkan Jongwoon pada keluarganya namun tidak ada sambutan hangat dari kedua orangtuanya.
“Mereka bersikap begitu karena aku anak satu-satunya yang mereka punya, jadi kau tidak perlu cemas,” kata Hyerin mencoba menghibur Jongwoon yang sedang sedih. “Benarkah?” tanya Jongwoon sambil menatap Hyerin, gadis yang ditanyai tersenyum dan mengangguk.
Jongwoon merangkul bahu gadisnya. “Apapun yang terjadi kau harus tetap menjadi gadisku, istriku dan ibu dari anak-anakku,” katanya. Hyerin tertawa. “Baik Oppa,” kata Hyerin.
“Aku ingin bertanya satu hal padamu,” kata Jongwoon.
“Apa itu?”
“Apa aku tampan?” tanya Jongwoon dengan wajah serius. Hyerin seperti terlonjak kaget mendengar pertanyaan kekasihnya itu, kalau saja bukan di tengah jalan dan banyak orang dia pasti akan tertawa kencang saat ini.
“Ya! Apa yang kau pikirkan? Jawab pertanyaanku,” kata Jongwoon yang belum mendapatkan jawabannya. Hyerin mencoba menahan tawanya. “Menurutmu sendiri?” tanya Hyerin.
“Aish aku ini bertanya padamu kenapa kau bertanya balik, kalau menurutku tentu saja aku ini tampan,” jawabnya narsis. Lagi-lagi Hyerin menahan tawanya. “Baiklah kalau Oppa merasa tampan, menurutku juga begitu,” jawab Hyerin masih tetap menahan tawanya.
Jongwoon menjitak kepala Hyerin. “Dasar evil,” kata Jongwoon. Hyerin akhirnya tertawa, ia tidak sanggup lagi menahan tawanya. Jongwoon menatap sekilas gadis yang ia rangkul lalu mengecup puncak kepalanya. “Dasar gadis aneh,” ujarnya.
-oo-
Hari pemakaman telah tiba.
Semua teman Hyerin mengantarkannya ke tempat pembaringannya yang terakhir. Aku tak sanggup menatapnya ditimbun tanah sedikit demi sedikit. Airmataku tak mampu untuk keluar lagi, mimpiku hilang bersamaan dengan kepergiannya. Aku tidak bisa menyalahkan dirinya atau Tuhan, aku yakin ini mutlak keputusan Tuhan untukku.
Pemakamannya selesai, para pelayat perlahan meninggalkan pusara Hyerin yang masih basah namun aku masih disini, masih menatap pusara itu dengan tatapan cinta yang aku punya.
Aku berjongkok, mengusap pusaranya seakan aku mengusap wajahnya. “Sampai bertemu di pesta pernikahan kita disurga,” ujarku seperti bisikkan. Aku berdiri lagi kemudian berjalan meninggalkan pusaranya. Apapun yang terjadi aku akan tetap menikah.
-oo-
Hyerin menatap Jongwoon yang perlahan meninggalkan makamnya, kemudian ia menghela nafas.
“Tugasmu selesai Hyerin-sshi, kembalilah ke surga sekarang.” Sebuah suara mengejutkan Hyerin, ia menoleh kearah belakang dan menemukan sosok malaikat bersayap seperti dirinya. “Aku tidak bisa, ku mohon berikan aku beberapa waktu lagi, aku harus memastikan dia menemukan orang yang pantas,” pinta Hyerin.
Malaikat itu tersenyum.
“Aku berikan waktu satu minggu, lakukanlah semampumu setelah itu aku tidak bisa memberikan waktu lagi padamu,” katanya. Mendengar permintaanya di kabulkan senyum Hyerin terkembang di wajahnya ia mengucapkan terimakasih pada malaikat itu lalu meninggalkan tempatnya untuk menyusul Jongwoon.
Hyerin datang saat Jongwoon mengendarai mobilnya kencang, pikirannya sedang kacau dan yang ia inginkan saat in hanyalah mati.
Hyerin menggeleng, Jongwoon tidak berubah sama sekali. Ia menggunakan kekuatannya untuk menghentikan Jongwoon namun sesuatu yang tidak terduga terjadi. Seorang gadis manis berlari  persis didepan mobil Jongwoon. Reflek pria itu membanting stir ke kanan dan menginjak rem.
Namun sayang, ujung mobil Jongwoon sempat membuat gadis itu terpelanting kecil ke aspal dan mengaduh kesakitan.
Nafas Jongwoon memburu, ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Hyerin memandang Jongwoon cemas, ia ingin sekali memeluk pria dihadapannya itu sekarang juga agar Jongwoon tidak perlu merasa cemas seperti ini.
Tiba-tiba Jongwoon keluar dari mobil, Hyerin mengikutinya untuk tahu apa yang akan dilakukan olehnya. Jongwoon menghampiri gadis yang masih terduduk di aspal itu. Semua orang menatapnya namun tak ada yang mau membantu gadis itu. “Gwenchana?” tanya Jongwoon terlihat khawatir.
Hyerin masih menatap keduanya dari jarak dekat. Gadis yang ditanya itu tidak menjawab, ia hanya menangis sambil mengusap lengannya yang berdarah. Jongwoon menjulurkan tangan kanannya ke wajah gadis itu. Melihat sebuah tangan terjulur kehadapannya, gadis itu mendongak dan menatap Jongwoon.
Wajahnya penuh dengan airmata yang mengalir. “Ikut aku kerumah sakit.”
-oo-
“Sekarang katakan padaku dimana rumahmu?” tanya Jongwoon pada Jaesang, gadis yang ia tabrak tadi, saat suster yang membalut perban ditangannya meninggalkan mereka berdua.
Jaesang membungkam mulutnya, ia sebenarnya takut melihat Jongwoon.
“Kau tidak mau mengatakannya?” tanya Jongwoon. Jaesang masih diam.
“Perlihatkan kartu identitasmu, aku akan mengantarmu pulang dan meminta maaf pada ibumu,” kata Jongwoon lagi sambil mengulurkan tangannya meminta Jaesang memberikannya kartu identitas. Jaesang menggenggam tasnya erat lalu menyembunyikan tasnya dibelakang tubuhnya.
Jongwoon yang melihat gerakan tangan Jaesang mendesah ringan. “Kau benar-benar tidak ingin mengatakannya?” tanya Jongwoon, ia sudah mulai putus asa menghadapi gadis dihadapannya ini. Jaesang menggeleng.
Jongwoon mendesah lagi. “Baiklah, aku tidak akan mengantarmu, aku pulang dulu,” pamit Jongwoon. Pria bermata sipit itu berbalik dan berjalan keluar meninggalkan Jaesang yang membulatkan matanya melihat sikap Jongwoon padanya.
Jongwoon masih berjalan perlahan menuju mobilnya dan tidak menyadari kalau seseorang tengah mengikutinya dari belakang. Jongwoon menyalakan mobilnya lalu masuk kedalam mobilnya.
“Ya! Sejak kapan kau masuk kedalam mobilku!” teriaknya ketika baru saja akan menutup pintu dan menemukan sosok gadis.
“Aku ikut ahjussi ya?” pinta Jaesang lembut tak memperdulikan pertanyaan Jongwoon. Ia memasang wajah memelas mungkin agar Jongwoon mau membawanya.
“Kau sendiri kan yang tidak mau kuantar ke rumah? Sekarang kenapa kau ingin ikut denganku?!” tanya Jongwoon setengah membentak.
Ia sebenarnya sudah sangat lelah dan gadis dihadapannya ini benar-benar telah menganggu harinya. Jaesang menunduk, ia sedikit merasa bersalah telah merepotkan ahjussi di hadapannya itu. “Mianhe,” kata Jaesang sebelum ia keluar dari mobil Jongwoon.
Mendengar ucapan maaf Jaesang yang terdengar begitu memelas, hati Jongwoon luluh juga. Ia tidak tega meninggalkan Jaesang sendirian dengan luka ditangannya. Ia menurunkan kaca mobilnya dan menyuruh Jaesang masuk lagi kedalam mobil.
Raut wajah Jaesang berubah, ia menghampiri Jongwoon.
“Benarkah aku boleh ikut?” tanyanya riang. Jongwoon mengangguk.
Melihat anggukan kepala itu Jaesang langsung buru-buru masuk kedalam mobil Jongwoon.
-oo-
Ahjussi, kenapa aku di bawa ke apartementmu?” tanya Jaesang saat mereka baru saja sampai di apartement Jongwoon. “Kau pikir aku akan membayar sebuah kamar hotel untuk kau tinggali? Yang benar saja,” ucap Jongwoon tanpa memalingkan wajahnya dari penal pintu.
Jaesang mengerucutkan bibirnya. “Kau tidak akan macam-macam kan Ahjussi?” tanya Jaesang lagi saat Jongwoon berhasil membuka pintu apartementnya yang macet. “Ah rusak lagi, harus berapa kali aku memanggil petugas disini untuk membetulkannya,” umpat Jongwoon tanpa memperdulikan pertanyaan Jaesang.
Ia menutup kembali pintu apartementnya dan menemukan Jaesang sudah duduk manis di sofa tanpa ijinnya.
“Ya! Siapa yang menyuruhmu duduk?” tanya Jongwoon.
Seketika Jaesang berdiri dari duduknya dan memandang tegang Jongwoon. Melihat raut wajah gadis itu, Jongwoon menahan tawanya.
“Kenapa Ahjussi tertawa?” tanyanya polos.
Air muka Jongwoon berubah lagi, ia mencoba mengendalikan emosinya pada gadis misterius dihadapannya ini. “Memang tidak boleh? Duduklah, aku mau membersihkan diriku dulu,” kata Jongwoon lalu meninggalkan Jaesang sendirian di ruang tamu.
Sejak ditinggal Jongwoon, sifat ingin tahu Jaesang tidak bisa dikendalikan. Ia sibuk memandangi foto diruang tengah apartement Jongwoon. “Ahjussi ini punya kekasih yang begitu cantik,” ujar Jaesang sambil terus menatap foto itu.
Hyerin memandangi Jaesang dengan senyum manisnya, ia seperti bercermin pada dirinya sendiri ketika ia menjadi manusia. “Apa Tuhan memberikannya malaikat lain?” tanya Hyerin lirih. Ia sedikit cemburu dengan ucapannya sendiri. “Ah tidak mungkin, malaikat Jongwoon itu hanya aku,” katanya lagi dengan percaya diri.
Tiba-tiba Jaesang menjatuhkan sesuatu. Tumpukan undangan pernikahan Jongwoon dan dirinya yang sudah ditarik lagi dari para undangan. Hyerin menatap undangan berwarna jingga pucat itu dengan sendu. “Andai saja aku seorang manusia,” ujarnya.
“Apa ini?” tanya Jaesang sambil memungut salah satu undangan. Dia membaca nama yang tertera disana dengan seksama. “Jongwoon-Hyerin. Oh jadi nama Ahjussi itu Jongwoon,” kata Jaesang berbicara sendiri saat melihat foto Jongwoon dan kekasihnya di undangan tersebut.
“Kau sudah… Ya! Apa yang kau lakukan!”
Jongwoon baru saja keluar dari kamarnya dan ingin menghampiri Jaesang namun ia terkejut saat Jaesang sudah berada diruang tengah sambil membaca undangan pernikahannya. Ia menghampiri Jaesang dan merampas kartu undangan itu dengan kasar.
“Kau ini tidak pernah diajarkan sopan santun ya oleh orangtuamu?” tanya Jongwoon yang kesal melihat kelancangan Jaesang.
Yang dimarahi hanya diam dan menunduk. “Mianhe,” katanya. Sekarang ia ketakutan setengah mati melihat api amarah menutupi tubuh Jongwoon.
-oo-
Flashback
“Aku tidak mau! Pokoknya aku tetap tidak mau!” teriakku pada Oemma.
Wanita paruh baya itu sudah mengangkat sapu tinggi-tinggi siap memukulku namun aku menantangnya. “Pukul saja Oemma, bukankah itu yang selalu kau lakukan agar aku menuruti perintahmu,” kataku lagi.
Ia membulatkan matanya yang sipit. “Kau!”
Ia semakin tinggi mengangkat sapunya, kalau saja Appa tidak datang mungkin sapu itu sudah mendarat indah ditubuhku.
“Kau ini memperlakukan Jaesang seperti anak kecil saja, dia sudah dewasa,” kata Appa membelaku. “Dia membantah ucapanku!” bentak Oemma tidak mau kalah.
“Bagaimana aku harus menuruti perintah konyolmu Oemma, aku tidak mau dijodohkan!” teriakku lagi. Kali ini aku benar-benar sudah gerah dengan bujukan dan perintah Oemma agar aku mau menikah dengan pria yang tidak aku cintai.
Kalau saja pria itu tampan seperti Choi Siwon mungkin aku tidak akan menolak, tapi aku akan dinikahkan dengan pria hampir seumuran Appa-ku, yang benar saja. Aku juga akan pilih-pilih kalau akan dijodohkan.
“Tapi pria yang akan kau nikahi itu kaya raya! Kita bisa memperbaiki  keuangan keluarga kita!” bentak Oemma, aku memandang Oemma gahar.
“Kau sedang menjualku ya? Aku tidak mau, sekaya apapun dia aku tidak mau!!” kataku lagi.
Aku mulai beranjak dari kursiku namun Oemma menjambak rambutku. “Ya! Oemma lepaskan tanganmu!” teriakku.
“Ya! Jaesu lepaskan tanganmu,” kata Appa dengan nada khawatir. Ia membantuku melepaskan jambakan Oemma pada rambutku.
“Kalau Oemma terus memaksaku, aku akan kabur dari rumah,” ancamku. Appa terkejut mendengar ancamanku namun tidak dengan Oemma, dia malah mencibirku dan mengatakan kalau aku tidak akan berani keluar dari rumah.
“Jangan menyesal dengan ucapanmu Oemma,” timpalku ditengah pembicaraannya.
Aku masuk kekamar, memasukkan beberapa helai pakaian ke tas ranselku dengan sembarangan, mengambil ponselku dan beberapa uang tabungan yang kupunya. Setelah berkemas aku keluar lagi dari kamarku. Melihat persiapanku mata Oemma terbelalak, ia tidak menyangka aku akan senekat itu.
Tanpa mendengar larangan Appa dan Oemma aku keluar rumah dan berlari sekencang mungkin, aku tidak mau kembali kerumah itu. Tidak mau!
-oo-
“Jadi kau kabur hanya karena tidak mau dijodohkan?” tanya Jongwoon saat aku menceritakan kisahku padanya, aku mengangguk.
“Aku kan juga ingin menikah dengan pria yang aku cintai,” kataku.
Jongwoon mengangguk. Ia sibuk memasukkan makanan kedalam mulutnya.
“Aku boleh bertanya?” tanyaku.
Ia mengangguk tanpa memalingkan wajahnya.
“Aku lihat di kartu undangan, pernikahanmu akan dilaksanakan besok tapi kenapa kau sepertinya santai-santai saja?” tanyaku tanpa berdosa.
Jongwoon menghentikan aktifitasnya, ia meletakkan sendoknya di meja kemudian menatapku. Dari lingkar matanya aku melihat sebuah kesedihan mendalam, airmatanya bahkan sudah menunggu jatuh dipelupuk matanya.
“Aku kehilangan dirinya untuk selamanya,” katanya. Setelah mengatakan itu ia beranjak, masuk ke kamarnya dan meninggalkanku sendirian yang tidak mengerti apa yang sedang dirasakan olehnya.
Apa aku salah melontarkan pertanyaan?
Atau kekasihnya sudah pergi meninggalkan dirinya dengan pria lain?
Aku menghempaskan badanku ke kursi. Selera makanku hilang. Besok pagi aku akan meminta maaf padanya.
Aku memutuskan untuk tidur disofa saja, aku sudah menumpang disini jadi aku tidak boleh rewel. Tidak mungkin juga aku meminta Ahjussi untuk tidur dikamarnya, bisa-bisa dia berteriak lagi padaku.
Aku memejamkan mataku. Sudah hampir tengah malam, pantas saja kalau mataku terasa berat dan harus segera ditutup. Namun, baru saja aku memejamkan mataku sebentar, seseorang menepuk pundakku perlahan. Mau tak mau aku membuka mataku dan melihat siapa yang berani melakukannya.
Aku menatap langit biru diatasku, meraba apa yang tanganku raih dan kemudian bangun terduduk dan memandangi hamparan bunga yang luas. Sedang berada dimana aku? Bukankah aku masih berada di ruang tamu rumah Ahjussi itu?
“Jaesang-sshi,” panggil seseorang dengan suara lembut dari arah belakangku. Aku menoleh, seorang wanita cantik mengenakan gaun yang indah menghampiriku dengan senyum yang manis, senyum yang sepertinya aku mengenalnya.
Nuguya?” tanyaku saat ia sudah duduk disampingku.
Ia hanya tersenyum.
“Apa kita pernah saling mengenal?” tanyaku lagi yang masih penasaran.
Lagi-lagi dia hanya tersenyum tapi kali ini dibarengi dengan anggukan kepalanya. “Lebih tepatnya kau akan mengenalku,” jawabnya. Keningku berkerut, aku tak mengerti sama sekali jawaban yang keluar dari bibir mungilnya itu.
“Jadi bagaimana kau tahu namaku tapi aku tidak tahu namamu?” tanyaku.
Dia tertawa kecil, menganggap pertanyaanku sebuah lelucon yang pantas untuk ditertawakan. “Seseorang pasti akan memperkenalkan kita suatu saat nanti,” katanya meyakinkan. Aku semakin tidak mengerti dengan pembicaraannya.
“Kenapa bukan kau saja yang memperkenalkan dirimu padaku? Toh, kita juga sudah bertemu kan?” tanyaku lagi sedikit memaksanya untuk memberitahuku siapa namanya. Lagi-lagi wanita itu menggeleng. “Aku tidak bisa, seseorang itu bisa terlonjak kaget kalau kau menceritakannya saat kau bangun nanti,” jawabnya.
Aku mengerutkan keningku lagi, saat aku bangun nanti? Jadi aku sekarang berada dialam mimpi?
“Apakah aku sedang berada dialam mimpi?” tanyaku. Dia mengangguk.
Tiba-tiba sinar matahari menyorotku seperti lampu sorot, panasnya menusuk kulitku dan membuatku mengerjap-ngerjapkan mataku. Tak lama pemandangan dimataku berubah.
Aku memandang jendela kamar yang terbuka dan membebaskan cahaya matahari masuk kedalam kamarnya dan menyorot tubuhku yang berselimut. Tunggu, berselimut? Seingatku aku tidak memakai selimut semalam.
Aku bangun terduduk dan mengedarkan pandanganku, ruangan ini seperti sebuah kamar. Lalu aku menatap sebuah foto dimeja kecil yang bersebelahan dengan tempat tidur. Foto Ahjussi itu, aku segera terlonjak kaget dan buru-buru keluar kamar.
Kulihat Ahjussi sedang memasak didapur, mendengar suara pintu terbuka ia segera berbalik.
“Sudah bangun?” tanyanya. Aku tak menjawab, pertanyaan itu memang tidak perlu jawaban.
“Bersihkan dirimu lalu bantu aku menghabiskan sarapan ini,” katanya sambil menunjuk nasi goreng buatannya. Aku meringis lalu mengangguk.
Saat air mengucur perlahan ditubuhku, aku memikirkan kenapa aku bisa tidur dikamar Ahjussi dan sepertinya ia tidak marah soal kejadian semalam?
Apa aku berjalan sambil tertidur lalu mengusirnya dari kamarnya sendiri? Ah tidak mungkin, selama aku hidup aku tidak pernah tidur sambil berjalan.
Atau dia menggendongku karena merasa kasihan denganku?
Atau… Aku menggeleng kuat, tidak mungkin Ahjussi itu melakukan hal yang macam-macam padaku.
Aku masih mencoba menghilangkan pemikiran negatifku soal Ahjussi itu saat melihatnya makan sendirian sambil membaca koran.
Annyeong,” sapaku saat menarik kursi dihadapannya dan duduk dengan manis. Dia menurunkan korannya dan tersenyum memandangku. Aku rasa dia sudah melupakan kejadian semalam jadi sebaiknya aku tidak usah mengungkit masalah itu lagi, aku tidak mau melihatnya sedih lagi.
Eh? Apa ini? Kenapa tiba-tiba aku jadi memikirkan keadaan hatinya? Aish, ini tidak boleh terjadi.
“Bagaimana tidurmu semalam?” tanyanya, sekarang ia sudah melipat korannya dan fokus pada makanannya. Mendengar pertanyaannya aku jadi ingat kejadian saat aku bangun tadi.
Ahjussi, apa kau yang memindahkanku dari sofa ke kamarmu?” tanyaku perlahan, mencoba mengatur nada pembicaraanku agar tidak terdengar percaya diri. Kulihat ia menganggukkan kepalanya tanpa menoleh kearahku.
Aku tersenyum senang, setidaknya ia memang memindahkanku bukannya aku yang tidur sambil berjalan dan mengusirnya dari kamarnya sendiri.
“Kenapa kau tidak memintaku untuk tidur dikamarku?” tanyanya sambil mengangkat kepala dan memandangku, aku menggeleng. “Aku tidak mau merepotkanmu,” jawabku.
“Dengan kau tinggal disini saja sebenarnya sudah amat merepotkan, jadi untuk apa kau merasa tidak nyaman seperti itu?” timpalnya. Ia kemudian bangkit dan mengambil piringnya yang telah bersih lalu menuju dapur.
Mendengar perkataannya barusan membuatku makin tidak nyaman, dia benar, aku terlalu merepotkan baginya. Aku ikut bangkit dari bangkuku lalu mengambil tasku yang berada di atas sofa tempatku tidur semalam.
Ahjussi yang keliatannya sedang mencuci piring di dapur berteriak, “Apa yang kau lakukan?”
Aku terdiam sambil mengemasi barang-barangku yang sempat aku keluarkan dari tasku. “Kau sedang apa?”
Aku terlonjak dan jatuh terduduk saat mendengar suara beratnya ditelingaku. Aku mendongakkan kepalaku dan memandangnya yang berdiri dibelakangku sambil menatapku heran. “Kau membuatku terkejut,” kataku sambil bangkit dan kembali meneruskan kegiatanku.
“Aku tanya, kau sedang apa?” tanyanya mengulang pertanyaan yang sama. “Mengemasi barang-barangku Ahjussi, aku tidak akan tinggal disini, Mianhe,” kataku sambil bangkit dan membungkuk dihadapannya.
“Habiskan dulu makananmu baru kau boleh pergi,” katanya seraya berlalu tanpa memperdulikan keinginanku untuk pergi. Aku memandang punggungnya yang menghilang dibalik tembok dapur, “Dia benar-benar tidak peduli padaku,” gumamku tak jelas.
-oo-
Ahjussi itu menyebalkan, bagaimana mungkin dia bisa setega itu mengusirku dari apartementnya?
Ah, memang bukan dia sih yang mengusirku dan bukan dia juga yang memintaku untuk tinggal di apartementnya namun, aku ini kan gadis yang cantik! Bagaimana kalau aku digoda oleh orang-orang jahat!
Aku terus membatin dan menghentakkan langkahku ke aspal yang kulewati. Sudah sangat jauh sekali aku berjalan dari apartement Ahjussi itu, dan dia benar-benar tidak mencegahku untuk pergi. Laki-laki macam apa itu membiarkan gadis sepertiku berkeliaran dijalan seorang diri. Dasar tidak bertanggung jawab.
Sebuah klakson menjerit di belakangku. Aku menoleh hendak memarahi supirnya karena klakson yang dibunyikan bisa saja membuatku tuli. Namun, baru saja aku membuka mulutku, kaca mobilnya terbuka dan Ahjussi menyebalkan menyembulkan kepalanya. “Masuklah,” perintahnya.
Aku menurutinya.
Bersamaan dengan pintu yang tertutup dia meluncurkan mobilnya ke suatu tempat. “Temani aku berdoa,” katanya saat ia mematikan mesin mobilnya dan keluar. Aku tak perlu menganggukkan kepala sepertinya karena dari nadanya ia seperti memberi perintah bukan meminta pertolongan.
“Sampai kapan kau akan terus diam didalam sana?!” teriaknya dari luar mobil. Aku buru-buru mengambil tasku dan menyusulnya yang mulai masuk kedalam gereja.
Aku mengambil duduk disampingnya, tidak persis disampingnya namun aku dapat melihat jelas airmata mengalir perlahan di pipinya saat ia sedang berdoa. Apa ia sesedih itu karena pernikahannya batal?
Ah bicara apa aku ini, tentu saja dia merasa sedih, bisa saja wanita yang akan dinikahinya itu wanita yang sangat ia cintai. Tapi, apa yang menyebabkan pernikahannya batal? Sepertinya ia belum menceritakannya. “Memangnya aku siapa sampai dia harus menceritakan masalahnya padaku?” gumamku.
Kajja,” kata Ahjussi itu. Aku menoleh namun ia sudah berjalan menjauh dariku. Aku bangkit lalu mengejar langkahnya.
“Kau boleh tinggal di apartementku,” katanya saat aku sudah mensejajarkan langkahnya. Aku terperangah, apa dia bilang? Aku boleh tinggal di apartementnya.
“Benarkah? Bukankah aku merepotkanmu?” tanyaku.
Dia berhenti melangkah, aku mengikutinya. “Lakukan 2 hal saat kau tinggal di apartementku, jangan panggil aku Ahjussi karena aku tidak setua yang kau pikir dan jangan pernah kau berani bangun setelah aku membuka mata lebih dulu,” katanya dingin.
Aku menelan ludahku, apa dia bilang? Aku harus mendahului dia bangun? Sedangkan tadi saja masih pagi buta saat aku bangun tidur dan dia sudah bangun lebih dulu. Apa aku harus begadang?
Dia mulai melangkahkan kakinya lagi saat pikiran-pikiran itu memasuki otakku. Aku berlari mengejarnya, “Lalu aku harus memanggilmu apa?” tanyaku dengan nafas terengah-engah.
“Terserah, aku bukan pamanmu,” jawabnya.
“Lalu setiap pagi kau bangun jam berapa?” tanyaku lagi.
Dia menghentikan langkahnya dan memandangku. “Itu bukan urusanmu,” katanya, kemudian ia berjalan lagi. Aish aku bisa mati jika berhadapan dengannya setiap hari.
-oo-
Flashback
Oppa, bagaimana masakanku?” tanya Hyerin saat Jongwoon mencoba makanan yang baru saja dimasak oleh Hyerin. Dia memasukkan beberapa daging lagi kedalam mulutnya dan memasang wajah yang membuat dada Hyerin berdegup kencang, pasalnya itu kali pertama ia memasak untuk Jongwoon.
“Lumayan.” Jongwoon menaruh lagi sendoknya dan duduk dibangku meja makan. Wajah Hyerin yang tadi berseri-seri berubah murung. “Aku akan memasak yang lebih enak untukmu,” katanya sambil mengangkat piring dan berniat menaruhnya didalam kotak pencuci piring.
Jongwoon yang menangkap gerik Hyerin mencegahnya. “Mau kau apakan makanan itu?” tanyanya cemas. Hyerin melirik makanan ditangannya lalu memandang Jongwoon polos, “Membuangnya, waeyo?” tanyanya.
“Makanan itu enak, kenapa kau harus membuangnya,” tanya Jongwoon sambil merebut piring dari tangan Hyerin.
“Kau hanya bilang lumayan bukan enak, aku akan buatkan yang enak untukmu bukan lumayan lagi,” katanya mencoba merebut piring digenggaman Jongwoon namun Jongwoon menjauhkannya dari jangkauan Hyerin.
“Kemarikan Oppa, aku akan membuangnya,” kata Hyerin lagi.
Tiba-tiba saja Jongwoon memeluk Hyerin, ia menaruh piring itu diatas meja lalu mendekap tubuh Hyerin lebih kencang.
“Maafkan aku,” katanya. Hyerin tak mengerti maksud dari permintaan maaf Jongwoon yang tiba-tiba itu. Dia melepaskan pelukannya lalu memandang Jongwoon dengan tatapan heran.
“Maaf untuk Oppa?” tanya Hyerin. Ia mengerutkan keningnya dan masih menatap Jongwoon tidak mengerti.
Jongwoon menarik Hyerin dalam pelukannya lagi, “Maafkan aku karena telah berbohong soal masakkanmu, ini enak Hyerin-a,” kata Jongwoon. Didalam pelukan Jongwoon Hyerin tersenyum, ia sebenarnya tahu kalau Jongwoon tadi berbohong namun ia tidak menyangka pria ini akan memeluknya dan merasa bersalah seperti ini.
Hyerin membalas pelukan Jongwoon. “Gweanchana,” katanya riang.
-oo-
Jaesang benar-benar meninggalkan apartementku, setelah mengucapkan salam dan terimakasih ia pergi tanpa mencoba merayuku untuk membiarkannya tinggal disini. Sebenarnya aku tidak keberatan sama sekali, aku hanya bercanda saat mengatakan dia merepotkanku namun aku tak menyangka dia benar-benar menanggapinya serius.
Aku memandangi foto Hyerin yang kupajang diatas meja kamarku.
“Apa aku kelewatan padanya?” tanyaku pada selembar foto itu. Aku tidak yakin tapi sepertinya suara Hyerin masih memenuhi otakku dan dia berkata. “Bodoh! Dia gadis baik tapi kau malah mengusirnya, cepat kejar dia!”
Hyerin seperti memberi perintah padaku. Aish, dasar yeoja nakal, dia masih saja terus menghantuiku dengan suara-suaranya dikepalaku.
“Apa aku benar-benar harus mengejarnya?” tanyaku lagi.
Aku seperti mendengar suaranya lagi. “Tentu saja, dasar bodoh,” umpat suara Hyerin. Aku kesal mendengar umpatan suara Hyerin itu. Kutaruh bingkai foto itu kasar. “Memangnya dia siapa sampai aku harus repot-repot mengejarnya.”
Tiba-tiba angin kencang berhembus dari arah belakangku, aku menoleh dan melihat kaca kamarku belum tertutup dengan sempurna.
Aku beranjak lalu menutup jendela itu. Saat akan berbalik tidak sengaja aku melihat sosok gadis yang aku kenal sedang menatapku dari bawah sembari tersenyum, senyum yang sangat aku kenal. “Shin Hyerin,” batinku.
Aku memastikan lagi apa yang kulihat namun saat memfokuskan pandanganku, bayangannya telah hilang. Aku mendesah pelan.
“Aku sangat merindukanmu,” gumamku. Aku kembali duduk ditempatku tadi dan memandangi foto Hyerin. Aku menyukai senyumnya, mungkin terkesan biasa saja namun aku tahu itu senyuman tulus yang selalu ia berikan.
Satu hal lagi yang aku sukai dari fisiknya, mata bulatnya yang indah. Mata itu yang selalu memancarkan cinta untukku dan selalu membuatku yakin bahwa dia adalah milikku.
Tiba-tiba aku mengingat Jaesang, matanya itu, mata bulat milik Jaesang. Tidak mungkin.
Aku bangkit lalu bergegas menyusul Jaesang sekarang juga, aku harus memastikan apa dia memiliki mata yang sama dengan Hyerin.
Aku melajukan mobilku perlahan, mencoba mencari sosok Jaesang ditengah keramaian saat ini. “Kemana anak itu? Kenapa jalannya cepat sekali?” gumamku yang mulai jengkel karena tidak menemukannya.
Saat sibuk melirik ke kanan dan ke kiri aku menemukan gadis dengan topi rajutan dan tas besar yang amat ku kenal, ku klakson agar dia menoleh. Tapi sepertinya dia terkejut, dia berbalik dengan wajah kesal namun seketika raut wajahnya berubah saat aku menyembulkan kepalaku dan menyuruhnya masuk kedalam mobil.
Dia hanya menurut, mungkin dia takut kepadaku. Setelah dia masuk, aku bingung harus membawanya kemana. Tiba-tiba aku teringat suatu tempat yang seharusnya aku kunjungi hari ini kalau aku jadi menikah dengan Hyerin. Gereja.
“Lalu aku harus memanggilmu apa?” tanyanya dengan nafas terengah-engah saat ia mengejar langkahku yang perlahan menjauh dari gereja. Aku mengajukan syarat padanya kalau ia ingin tinggal di apartementku, bukan syarat yang sulit, aku tidak mau dipanggil Ahjussi, karena aku tidak setua yang dia pikirkan dan aku tidak mau kalau harus memasakkannya sarapan setiap hari jadi aku memberikan syarat kalau dia harus bangun lebih dulu daripada aku.
“Terserah, aku bukan pamanmu,” jawabku cuek sambil terus berjalan, entah kenapa aku suka menggoda.
“Lalu setiap pagi kau bangun jam berapa?” tanyanya lagi dengan nada yang sama. Aku menghentikan langkahku dan memandangnya. “Itu bukan urusanmu,” kataku sebelum melangkah lagi.
Ia masih berada dibelakangku saat aku berbalik dan memandangi gereja megah dihadapanku ini. Dia menatapku lalu berbalik juga dan menatap gereja itu. Aku menghampirinya.
“Ada yang ingin aku ceritakan padamu,” kataku. Dia hanya menoleh lalu mengikutiku yang sekarang duduk dibangku taman depan gereja. Aku sendiri sebenarnya tidak tahu apa yang harus aku ceritakan, melihat matanya mengingatkanku pada Hyerin.
“Gereja ini bagus ya,” kataku membuka pembicaraan, Jaesang mengangguk setuju tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku memandanginya, memandang matanya yang bulat sempurna seperti milik Hyerin. Aku tidak tahu ada dua orang yang memiliki mata indah seperti itu.
“Gerejanya memang indah tapi sayang jauh dari pusat kota,” kata Jaesang tiba-tiba sambil menoleh kearahku, aku buru-buru memalingkan wajahku agar dia tidak tahu aku tengah memandanginya. Aku mengangguk.
“Gereja ini seharusnya menjadi saksi pernikahanku dengan kekasihku,” kataku memulai cerita. Dia masih memandangiku. “Hari ini, harusnya hari ini menjadi hari bahagiaku,” lanjutku. Dia masih bungkam, tak berani memotong pembicaraanku.
“Namanya Shin Hyerin, matanya seindah matamu,” kataku, kali ini aku menoleh dan menatap lekat matanya. Dia seperti terkejut mendengarnya, “Aku?”
Aku mengangguk lalu memalingkan wajahku lagi. Aku tak sanggup menatap matanya yang sempurna itu. “Jongwoon-sshi,” panggilnya. Aku menoleh.
Aku melihat dia seperti sedang menimang-nimang apa yang akan dikatakannya. “Katakanlah,” kataku. Aku tidak mau bersikap kasar lagi padanya. Aku benar-benar menatapnya seperti Hyerin sekarang.
“Kalau boleh tahu, kekasihmu itu… kenapa meninggalkanmu?” tanyanya.
“Tuhan memanggilnya,” jawabku sambil tersenyum getir. Dia menutup mulutnya yang terbuka dengan tangannya, mungkin dia tidak menyangka dengan jawabanku. “Jongwoon-sshi, mianhe, aku tidak…”
Gweanchana,” jawabku memotong pembicaraannya. Aku melihat mata itu benar-benar sendu, sama seperti mata Hyerin ketika merasa bersalah padaku. “Apa aku boleh memelukmu?” tanyaku tiba-tiba. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, saat ini hatiku benar-benar menyuruhku untuk memeluknya.
Dia mengangguk kecil. Kutarik ia kepelukanku, benar-benar sama ketika aku memeluk Hyerin. Pelukannya sehangat Hyerin.
-oo-
Flashback
“Jongwoon-sshi!!”
Hyerin berteriak diseluruh gang kecil yang ia lewati, Jongwoon menghilang dan ia benar-benar takut Jongwoon kembali ke dunianya yang dulu. Sudah 6 bulan Hyerin berhasil membantu Jongwoon merubah dari gaya hidupnya yang penuh dengan ilegalitas.
“Mati kau Jongwoon!!”
Suara seseorang yang menyebut nama Jongwoon membuat Hyerin berlari menuju sumber suara itu, benar saja, ia melihat Jongwoon yang sudah tak berdaya dengan wajah babak belur di kelilingi 5 pria berbadan besar yang membawa berbagai benda tumpul.
Seorang yang ia rasa ketuanya sedang mengangkat sebuah bangku kayu yang siap dilempar kearah Jongwoon. Hyerin tidak tinggal diam, ia berlari kearah Jongwoon dan memeluk pria itu.
BRAK!
Suara bangku patah terdengar menggema, Hyerin memejamkan matanya begitu juga dengan Jongwoon. Kelima pria yang melihat kejadian itu memutuskan untuk pergi dari tempat itu secepatnya.
Jongwoon membuka matanya dan melihat darah segar mengalir di kening gadis yang melindunginya itu. “Hyerin­-a,” ucapnya. Hyerin membuka matanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan suara lemah. Jongwoon mencoba bangkit dan menidurkan Hyerin dipangkuannya, ia meraih ponselnya dan menelpon ambulance.
“Bertahanlah, jangan tinggalkan aku,” gumam Jongwoon sambil menahan airmatanya.
-oo-
Sudah empat hari Hyerin mengikuti Jongwoon dan memastikan Jongwoon tidak menyianyiakan Jaesang begitu saja, mereka sekarang berada di apartement, memasak untuk makan siang mereka sendiri.
Hyerin masih memandangi Jongwoon sambil tersenyum. “Tidak salah mengapa aku mencintainya,” kata Hyerin. “Waktumu tinggal 3 hari lagi.” Suara yang amat dikenal Hyerin terdengar pelan, Hyerin mengangguk, “Aku mengerti,” ucapnya sambil tetap tersenyum.
Hyerin masih menatap Jongwoon yang sedang menyiapkan meja makan sampai Jaesang menjerit dari arah dapur. Terlihat jelas saat itu Jongwoon panik dan segera menghampiri Jaesang yang sedang meniup telunjuknya yang terkena panci yang panas.
Jongwoon menarik tangan Jaesang dan ikut meniup telunjuknya. Hyerin tertawa kecil. “Dia selalu melakukan itu.” Pikirannya kemudian melayang pada kenangannya saat jari Hyerin berdarah ketika mereka masak bersama dan yang Jongwoon lakukan hanya menghisap darah di telunjuknya tanpa mengobatinya dengan obat merah. Dia terlalu mengikuti kisah didalam drama, batin Hyerin.
“Masih sakit?” Hyerin mendengar suara Jongwoon begitu khawatir, raut wajahnya benar-benar menunjukkan kekhawatirannya. Hyerin tiba-tiba murung melihat wajah itu. “Dia tidak pernah menunjukkan raut sekhawatir itu padaku,” gumamnya, ia merasa cemburu pada Jaesang sekarang.
Kemudian dia memutuskan untuk pergi dari tempat itu, ia takut hatinya terbakar cemburu yang lebih besar.
Ia menemui seseorang yang selalu menurutinya, Park Jungsoo, dia jugalah yang mengingatkan Hyerin soal waktunya tadi. “Sudah mau pulang?” tanya Jungsoo lembut. Hyerin menggeleng. “Aku hanya tidak ingin melihat kemesraan mereka,” katanya lesu.
Jungsoo menepuk pundak Hyerin yang tengah menunduk. “Aku seharusnya tidak membiarkanmu jatuh cinta padanya,” kata Jungsoo. Hyerin mengangkat kepalanya dan memandang Jungsoo. “Aku tahu, harusnya aku juga tidak mencintainya,” kata Hyerin.
“Aku merasa tersaingi.” Hyerin mengerutkan keningnya.
“Apa kau masih menyukaiku?” tanya Hyerin. Dia sepertinya percaya diri kalau Jungsoo masih menyukainya seperti dulu, dugaan Hyerin tepat, Jungsoo mengangguk dan tersenyum.
“Tapi aku tidak akan memaksamu, kau yang menentukan pilihan,” kata Jungsoo seakan-akan cinta mereka adalah cinta manusia. Hyerin tersenyum. “Malam ini aku mungkin aku akan masuk kedalam mimpi Jaesang lagi,” kata Hyerin mengalihkan pembicaraan mereka. “Silahkan saja,” jawab Jungsoo.
-oo-
“Kita bertemu lagi.” Hyerin menyapa Jaesang yang tengah duduk di sebuah taman penuh bunga matahari. Jaesang terkejut, ia tidak menyangka akan bertemu gadis yang sama di mimpi yang berbeda.
“Kau sekarang mau mengatakan kau siapa?” tanya Jaesang. Hyerin hanya tersenyum. “Kau sebenarnya sudah mengenalku, perhatikanlah sekelilingmu Jaesang-sshi,” kata Hyerin. Jaesang tampak berpikir, dia mencoba mengingat-ingat siapa yeoja dihadapannya ini.
Baru saja Jaesang ingin bertanya lagi, sosok itu sudah menghilang dari hadapannya. Tiba-tiba suara Jongwoon mengejutkannya, ia berusah mencari sosok itu namun ia tak menemukannya sampai ia merasa tubuhnya diguncang-guncang seseorang.
“Uhm, wae?” gumam Jaesang yang merasa tidurnya terganggu. Jongwoon terus mengguncang tubuh Jaesang. “Bangun, aku tidak bisa tidur,” katanya.
Jaesang bangun terduduk, ia selalu tidak bisa menolak permintaan Jongwoon. “Ada apa?” tanya Jaesang sambil mengucek matanya dan menguap lebar. “Tutup mulutmu saat menguap, kau itu seorang gadis!” bentak Jongwoon yang tidak menyukai sikap Jaesang barusan.
Arrasoe Arrasoe, ada apa?” tanya Jaesang lagi tanpa menghiraukan bentakan Jongwoon tadi, ia benar-benar mengantuk sekarang. “Temani aku berjalan-jalan sekarang ya?” bujuk Jongwoon.
Jaesang langsung membuka matanya lebar, “Apa kau bilang? Malam-malam begini?” tanya Jaesang, Jongwoon mengangguk dengan wajah polos. “Kau gila, diluar dingin sekali, aku ingin tidur saja,” kata Jaesang. Ia bersiap-siap kembali menarik selimutnya namun Jongwoon menariknya lagi. “Ayolah,” bujuk Jongwoon lagi.
Jaesang melirik Jongwoon. “Baiklah.”
Jongwoon menggandeng tangan Jaesang, entah kenapa ia merasa senang saat melakukan hal itu sedangkan Jaesang berulang kali menguap lebar karena kantuknya yang belum terobati. “Kita mau kemana?” tanya Jaesang.
Jongwoon tidak menjawab, dia terus menggandeng tangan Jaesang kesuatu tempat.
“Sudah sampai,” ujar Jongwoon saat mereka berhenti disebuah taman kanak-kanak yang sudah tak terawat. “Untuk apa kita kesini?” tanya Jaesang tak mengerti sambil memperhatikan Jongwoon yang membuka pintu pagarnya dan kembali menggandeng Jaesang masuk ke halamannya yang penuh dengan permainan.
“Aku selalu kesini bersama Hyerin saat kami tidak bisa tidur,” cerita Jongwoon seperti menjawab pertanyaan Jaesang. Yang diberi jawaban mengangguk, ia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakannya ketika Jongwoon menceritakan tentang kenangan dirinya bersama Hyerin, ia sedikit tidak suka mendengarnya.
Jongwoon mengangkat kepalanya dan memandang langit, Jaesang mengikuti apa yang dilakukan Jongwoon. Langit malam ini gelap, tidak diterangi bintang-bintang namun entah kenapa wajah Jongwoon begitu cerah saat melihat langit.
“Aku bisa melihat Hyerin,” gumam Jongwoon.
Jaesang menurunkan pandangannya. “Hyerin lagi,” bisik Jaesang pada dirinya sendiri. Ia benar-benar tidak suka nama itu disebut oleh Jongwoon.
“Apa yang kau katakana Jaesang-sshi?” tanya Jongwoon, sekilas ia bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Jaesang tadi.
Jaesang terkejut mendengar pertanyaan Jongwoon. “Ah, tidak ada apa-apa,” jawabnya sedikit terbata.
“Aku ingin pulang.” Jaesang merajuk pada Jongwoon, melihat wajah muram Jaesang mau tak mau Jongwoon akhirnya pulang. Suasana hening menyelimuti mereka diperjalan pulang, Jongwoon masih menggenggam tangan Jaesang.
“Kau lebih suka dipeluk atau dicium?” tanya Jongwoon tiba-tiba memecahkan keheningan. “Eh?” Jaesang terkejut mendengar pertanyaan Jongwoon namun ia cepat-cepat menjawabnya. “Dipeluk.”
“Alasannya?”
“Alasannya? Hmm aku tidak pernah memikirkan alasannya, yang aku tahu, aku lebih suka dipeluk,” kata Jaesang. Jongwoon lalu melepaskan genggamannya dan merangkul Jaesang, merapatkan jarak diantara mereka. Degup jantung keduanya begitu kencang, masing-masing takut kalau satu sama lain dapat mendengar degupan jantung mereka ditengah kesunyian itu.
“Jangan cemburu lagi soal Hyerin ya,” ujar Jongwoon dengan suara kecil namun Jaesang dapat mendengar jelas kata-kata itu. Ia melirik Jongwoon, ‘darimana ia tahu tentang perasaanku?’ Batin Jaesang.
-oo-
Pagi-pagi sekali pintu apartement seseorang diketuk oleh seseorang. Aku berlari untuk membuka pintu, Jongwoon masih tertidur di tempatnya jadi tidak mungkin aku memintanya untuk membukakan pintu.
“Tuan Jongwoon ada ditempatnya?” tanya seorang yeoja seraya tersenyum saat aku membuka pintu. Aku mengangguk kecil, kupandangi caranya tersenyum dan caranya memandangku. Aku seperti pernah melihatnya namun aku tidak bisa mengingatnya.
“Masuklah, dia masih tertidur, akan kubangunkan dulu,” kataku. Dia hanya mengangguk, kemudian aku masuk dan membangunkan Jongwoon yang tidur diatas sofa. “Ada apa?” tanyanya tanpa membuka matanya.
“Seorang perempuan mencarimu,” kataku. Dia membuka matanya, “Sepagi ini?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. Kemudian dia beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju pintu. Aku kembali ke dapur, sama sekali tidak berminat dengan keperluan Jongwoon. Tiba-tiba aku mengingat wanita di mimpiku, wajahnya mirip dengan wanita yang dua kali masuk kedalam mimpiku.
PRANG!
Suara benda jatuh terdengar dari dalam kamar Jongwoon, aku cepat-cepat masuk kedalam kamar dan mencari apa yang jatuh disana. Sebuah pigura. Aku memungutnya dan melihat foto didalamnya. Foto itu, objek didalam foto itu maksudku. Lidahku tercekat, badanku lemas, perlahan aku jatuh terduduk dilantai. Wanita itu, wanita yang ditemui Jongwoon saat ini adalah Hyerin.
-oo-
Aku memandangnya yang berdiri diambang pintu sambil menatapku dengan mata bulatnya yang indah dan senyumnya yang hangat seperti dulu. “Hyerin,” gumamku sambil berjalan perlahan mendekatinya. Dia mengangguk.
“Aku hanya ingin mengatakan kalau Jaesang adalah gadis yang baik,” kata Hyerin. Aku mencoba memegang wajahnya namun selalu saja tidak bisa, aku seperti menggapai angin. “Bagaimana kau bisa mengenalnya?” tanyaku.
“Aku mengikutimu selama seminggu ini, maafkan aku tidak memberitahumu,” jelasnya. Aku tidak mengatakan apa-apa, aku masih tetap memandanginya tak percaya. “Kau harus tahu Oppa, aku bukanlah seorang manusia, aku adalah malaikat yang ditugaskan untuk menjagamu dan membebaskanmu dari duniamu dulu,”
“Tapi ternyata seiring berjalannya waktu aku jatuh cinta padamu, waktuku telah habis karena ada seseorang yang mampu menjagamu sekarang,” cerita Hyerin sambil memandang seseorang dibelakangku.
Aku menoleh, kulihat Jaesang memandang Hyerin dengan tatapan tak percaya.
“Aku sudah bilang kan kita akan saling mengenal?” kata Hyerin lagi. Aku menoleh lagi pada Hyerin, aku tak mengerti maksud perkataannya. “Kami pernah bertemu dua kali Oppa, dia gadis yang baik,” kata Hyerin lagi.
Jaesang menghampiri kami. Tatapannya tidak lepas dari Hyerin. “Oennie, apa ini benar-benar dirimu?” tanya Jaesang. Aku menyentuh pundaknya, dia tidak menoleh sama sekali. Hyerin hanya tersenyum.
“Jagalah Jongwoon-ku, ah tidak sekarang ia menjadi Jongwoon-mu, jagalah dia, jagalah dia seperti aku menjaganya,” ucap Hyerin. Aku menahan airmata di pelupuk mataku. “Oppa.”
Aku menoleh, namun airmataku ikut jatuh dari mataku. “Jagalah dia seperti kau menjagaku, perlakukan dia dengan baik,” katanya. Aku menggigit bibir bawahku dan mengangguk. Kulihat Jaesang menangis terduduk disampingku, aku memandang Hyerin lagi. Dia masih tersenyum.
“Aku pergi,” katanya sebelum sosoknya menghilang. Aku ingin mencegahnya, aku ingin memeluknya sebelum dia pergi, aku ingin lebih lama dengannya!!
“SHIN HYERIN!!” pekikku. Airmataku mengalir deras di pipiku, kudengar tangisan Jaesang sama kerasnya denganku. Aku menghampirinya, kemudian memeluknya. “Berhentilah menangis,” ujarku.
-oo-
1 tahun kemudian,
Oppa, cepat!” teriak gadis berambut panjang yang ditutupi sebuah topi rajutan. Aku memandangnya malas, “Sabarlah sedikit!” balasku padanya. Dia membalikkan badannya dan melanjutkan langkahnya lagi.
Tak lama ia berhenti pada satu pusara dan berjongkok.
Oennie, aku kembali lagi, mianhe karena membiarkanmu sendiri terlalu lama,” sapanya. Aku memandangnya tersenyum. Jaesang menaruh bucket bunga yang dibawanya lalu membersihkan pusara Hyerin dari daun-daun yang berjatuhan.
Oennie, besok aku akan menikah dengan Jongwoon-mu, apa kau senang?” tanyanya. Tentu tidak ada yang akan menjawabnya, aku masih memandanginya. “Kalau kau senang datanglah besok dihari pernikahan kami, dengan wujud apapun, aku pasti akan merasa bahagia,” katanya lagi sambil terus membersihkan makam Hyerin.
“Jangan dengarkan dia Hyerin-a,” timpalku. Dia menoleh. “Kau diam saja!” teriaknya.
Baru saja aku ingin menjitaknya, Jaesang sudah berbicara lagi pada nisan Hyerin. “Lihat Oennie, dia ingin melakukan tindak kekerasan denganku,” katanya dengan nada sedih. Aku menjitak kepalanya, dia mengaduh kecil sambil mengusap kepalanya.
“Sembarangan saja kalau bicara,” kataku. Dia meringis lalu bangun dari posisinya. “Oennie, dengarkan tadi permintaanku? Jangan lupa datang ya, saranghae,” ucapnya kemudian meninggalkanku sendirian. Aku tak mengejarnya karena aku tahu, dia memang membiarkanku sendiri.
Aku tersenyum dan menghela nafas, “Datanglah, aku harap kau datang, saranghae,” kataku.
Aku berjalan menjauh dari pusaranya, menghampiri calon istriku yang sedang menungguku sambil memandangi langit. Dia benar-benar mirip dengan Hyerin hanya senyumnya yang berbeda, senyum Jaesang jauh lebih indah dari senyum Hyerin.
Kalau Hyerin adalah bidadariku, Jaesang adalah segalanya diatas bidadari. Aku merangkul bahunya.
Kajja,” kataku. Dia mengangguk.
-oo-
Jaesang berjalan anggun di tengah gereja sambil terus tersenyum bahagia menatap Jongwoon. Ia memegang bucket bunga dan berjalan terus menuju altar tempat calon suaminya berdiri menunggunya.
Setelah mengucapkan janji dan sumpah sehidup semati, Jongwoon membuka kotak cincin yang dipegangnya dan mengeluarkan cincin yang akan dipakai oleh Jaesang, namun sayang cincin itu tak sengaja terjatuh dan berguling kearah tamu.
Kedua keluarga pengantin sibuk mencari cincin itu. Jaesang dan Jongwoon saling pandang kemudian seseorang maju ke depan altar sambil mengulurkan tangannya yang memegang sebuah cincin.
“Ini yang kalian cari,” katanya.
Jaesang dan Jongwoon terperangah.
Oennie.”
”Hyerin-a.”
THE END

0 komentar on "My Wedding without you"

Posting Komentar

Jumat, 16 Maret 2012

My Wedding without you

Karya : Altha Swita Abrianto di 9:28 PM

Aku mengendarai mobilku menuju rumah kekasihku, kekasih yang selama 3 tahun selalu menemaniku dan selalu mendukungku. Bagiku dia kekasih yang sejati, kekasih yang tak akan mampu aku temui lagi di sudut benua manapun.
Dia yang mampu mengubahku dari sosok yang tak berarti dimasa lalu menjadi seorang yang berhasil sekarang ini. Namanya Hyerin, Shin Hyerin. Gadis cantik serupa dengan bidadari ini membuatku sadar bahwa dunia ini indah dan sangat sia-sia bagiku untuk merusaknya.
Senyumnya yang manis yang membuatku kadang tak bisa tidur hanya karena membayangkannya.



Aku memarkir mobilku di depan rumahnya, membuka pintu, turun dari mobil dan mengetuk pintu rumahnya. Tak lama pintu terbuka dan Hyerin berada di balik pintu tersebut. Dia menyambutku dengan pelukan hangat seperti biasanya lalu kemudian mencium pipiku.

"Jadi pergi?" tanyaku saat ia melepas pelukannya.
Ia mengangguk kemudian menutup pintu. Aku menggenggam tangannya dan kami berjalan menuju mobil. Aku menatap wajahnya sekilas sebelum aku menancap gas dan pergi ke toko kue untuk memesan kue pernikahan kami. Iya, kami akan menikah beberapa hari lagi, dan ini tahap terakhir persiapan kami. Memesan kue pernikahan yang diinginkan Hyerin selama ini.
“Kenapa menatapku seperti itu Oppa?” tanyanya menyadari aku masih memerhatikan lekuk wajahnya yang mempesona, aku tersenyum lalu menyentuh pipinya yang menggemaskan. “Boleh aku meminta satu hal?” tanyaku.
Dia menatapku bingung namun tetap mengangguk.
“Aku boleh menciummu?” tanyaku memberanikan diri, aku takut ia marah atas permintaanku yang lancang ini. “Nanti saja kalau kita sudah menikah,” jawabnya sambil tertawa kecil. Aku menggeleng, “Aku ingin sekarang, manis,” kataku sambil memajukan badanku padanya.
Dia membulatkan matanya, aku tak peduli lagi apa yang akan ia lakukan yang penting sekarang aku akan merebut ciuman pertamanya.
-oo-
Flashback
“Kau mau menjadi gadisku?” tanya Jongwoon kepada gadis dihadapannya yang sedang terbujur tak berdaya diatas kasur rumah sakit.
“Tidak bisakah kau melakukannya lebih romantis lagi?” tanya Hyerin sambil tersenyum lemah. Jongwoon mencibirnya, “Ya! Kau kan tahu aku bukan tipe orang seperti itu!” gertaknya kesal. Hyerin hanya tertawa mendengar bentakkan Jongwoon itu.
“Setidaknya tunggu aku pulang  dari rumah sakit Oppa,” kata Hyerin.
Raut wajah Jongwoon berubah saat Hyerin memanggilnya dengan sebutan Oppa, ini pertama kalinya semenjak 6 bulan mereka saling mengenal dan Hyerin memanggilnya dengan sebutan Oppa. “Kau memanggilku apa?” tanya Jongwoon meminta Hyerin mengulang panggilannya.
Hyerin yang memang jahil hanya mengulurkan lidahnya lalu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Jongwoon berusaha merebut selimut tersebut dan memaksa Hyerin mengucapkan kalimatnya lagi.
“Ya! Ya! Jongwoon-sshi, hentikan!” teriaknya. “Katakan hal yang ingin kudengar,” pinta Jongwoon sambil terus menarik selimutnya.
Saranghaeyo Oppa,” katanya. Jongwoon berhenti menarik selimutnya. Hyerin membelakangi tubuhnya dan menahan senyumnya yang kini menghiasi wajahnya.
Jongwoon membalikkan badan Hyerin menghadapnya. “Katakan sekali lagi,” kata Jongwoon dengan raut wajah yang serius. Hyerin tersenyum manis, Jongwoon hampir saja pingsan melihat senyum gadis yang ia cintai ini.
Saranghaeyo, jeongmal saranghaeyo,” kata Hyerin. Jongwoon mengecup kening gadisnya, tak perlu lagi ia mengulang pertanyaannya apakah gadis ini mau menjadi kekasihnya. Ia benar-benar senang saat ini, seperti terbang menyusuri langit yang entah dimana ujungnya.
-oo-
Hyerin mengerucutkan bibirnya saat aku melepas ciuman pertama kami. “Oppa curang,” sungutnya marah.
Aku menahan senyumku, aku sebenarnya ingin sekali tertawa melihat raut wajahnya saat ini karena aku tahu dia hanya berpura-pura. Dia tidak bisa membohongiku.
“Benarkah kau begitu marah? Aku calon suamimu,” kataku yang pura-pura marah juga. Dia masih mengerucutkan bibirnya dan memalingkan wajahnya dariku. Aish dasar yeoja manja, batinku. “Aku tidak bisa menahannya Jagiya,” kataku kemudian mencium pipinya yang mulus dan putih bersih.
Aku meliriknya sekilas, dia memejamkan matanya dan pipinya sedikit terangkat. Seulas senyum berhasil kukembalikan di wajahnya.
Mianhe,” kataku. Dia hanya tersenyum. Sungguh aku bisa gila menatap senyumnya yang tidak pernah berubah sejak kami bertemu. “Kajja, nanti tokonya tutup Oppa,” kata Hyerin mengingatkanku harus segera pergi ke toko kue itu. Aku mengangguk lalu menyalakan mesinku dan melajukannya ke tempat tujuan kami.
Sepanjang perjalanan kami terus tertawa, menceritakan hal lucu yang sebenarnya bisa dikatakan basi untuk di ceritakan lagi.
Melihatnya tertawa semakin membuatku senang, aku takut kehilangan tawa itu, aku takut kehilangan dirinya.
-oo-
Flashback
Jongwoon masih berada dalam pelukan Hyerin, menangis sejadi mungkin dan sekeras mungkin. Gadis yang memeluknya ikut menangis, ia tidak sanggup menahan airmatanya mendengar tangisan pria yang baru dikenalnya beberapa hari yang lalu.
“Aku bosan hidup seperti ini,” kata Jongwoon ditengah isak tangisnya. Hyerin mengelus rambut pria itu. “Aku ingin mati,” katanya lagi, kali ini hampir berteriak. Hyerin menggeleng. “Jangan, jangan menyakiti dirimu, kumohon jangan,” cegahnya.
“Kau pikir kau siapa melarang keinginanku?!” bentak Jongwoon sambil melepaskan pelukan Hyerin. Hyerin terhempas menabrak lemari dibelakangnya.
Ia menangis semakin keras, punggungnya sakit. Jongwoon yang melihat perlakuan kasarnya pada Hyerin menghampirinya. Ia menyapu airmatanya dan menggendong Hyerin ke kasurnya. Hyerin melenguh kesakitan saat punggungnya menyentuh kasur Jongwoon, walaupun empuk tapi ia merasa punggungnya seperti dihantam benda tumpul.
“Dimana yang sakit?” tanya Jongwoon terlihat khawatir, ia mencoba memiringkan badan Hyerin namun gadis itu menolak.
“Perasaanku yang sakit,” jawab Hyerin. Jongwoon terduduk lemas, gadis yang dikenalnya beberapa hari ini membuatnya bingung. Ia seperti malaikat yang datang untuk menyembuhkan luka hidupnya.
“Kumohon beritahu aku dimana yang sakit?” tanya Jongwoon lagi dengan nada memelas sambil menggenggam tangan Hyerin. “Sudah kubilang, perasaanku yang sakit,” jawabnya dengan kalimat yang sama.
“Kalau begitu katakan apa maumu?” tanya Jongwoon putus asa. Hyerin hanya tersenyum. “Aku hanya mau dirimu,” katanya perlahan.
Jongwoon menunduk tak berani menatap gadis itu. Hyerin benar-benar ingin merubah hidupnya. Jongwoon mengangkat kepalanya, dilihat Hyerin memejamkan matanya. Dia yakin Hyerin sedang tidur sekarang, seharian ini ia mengikuti kemana saja Jongwoon pergi dan barusan pria itu mendorongnya hingga Hyerin menabrak lemari.
“Buat aku berubah Hyerin-sshi,” bisik Jongwoon ditelinga Hyerin.
-oo-
Akhirnya kami sampai di toko kue itu karena tempat parkir mobil di dalam gedung penuh aku harus memarkir mobilku diseberang jalan.
Hyerin yang bersemangat turun dari mobil dan berjalan duluan meninggalkanku yang masih didalam mobil. Saat mengunci pintu dan berjalan sebentar, aku mendengar suara decit mobil disusul suara hantaman.
Aku terperangah, menatap apa yang terjadi kemudian berlari. Aku menyeruak ke kerumunan dan menghampiri tubuh berlumuran darah itu.
Hyerin membuka matanya, dia menatapku dan mulai berbicara kata perkata "Aku mencintaimu Oppa.” Hanya itu kalimat yang dapat di keluarkannya kemudian ia menutup matanya lagi. Aku menitikkan airmataku dan mulai memandangi kerumunan orang-orang itu.
“Panggil ambulance! Cepat!” bentakku pada mereka. Aku mencoba membangunkan Hyerin, aku tak ingin ia menutup matanya. Aku tidak mau.

Aku gelisah, Hyerin berada di ruang ICU sekarang namun aku tak tenang. Aku takut sesuatu terjadi padanya, aku takut ia pergi meninggalkanku dan semua rencanaku hancur begitu saja.
Dokter keluar dari ruang ICU, aku langsung menghampirinya dan menanyakan keadaan Hyerin. Dokter hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah katapun untukku kemudian ia pergi, aku diam, aku tahu maksudnya.
Perlahan aku membuka pinta ruang ICU dan melihat beberapa suster mencabut segala peralatan medis. Aku menghampiri tubuh kakunya, menghampiri kekasihku yang tak mampu lagi tersenyum bahkan membuka mata.
Aku menangis dan memeluk tubuhnya. Dingin, tak hangat seperti biasanya. Suster-suster itu membiarkanku, mereka tau bagaimana rasanya kehilangan dan mereka tau bagaimana harus bersikap.
-oo-
Flashback
“Sepertinya orangtuamu tidak menyukaiku,” kata Jongwoon membuka pembicaraan saat dirinya dan Hyerin keluar dari rumah Hyerin untuk pergi berjalan-jalan. Hyerin baru saja memperkenalkan Jongwoon pada keluarganya namun tidak ada sambutan hangat dari kedua orangtuanya.
“Mereka bersikap begitu karena aku anak satu-satunya yang mereka punya, jadi kau tidak perlu cemas,” kata Hyerin mencoba menghibur Jongwoon yang sedang sedih. “Benarkah?” tanya Jongwoon sambil menatap Hyerin, gadis yang ditanyai tersenyum dan mengangguk.
Jongwoon merangkul bahu gadisnya. “Apapun yang terjadi kau harus tetap menjadi gadisku, istriku dan ibu dari anak-anakku,” katanya. Hyerin tertawa. “Baik Oppa,” kata Hyerin.
“Aku ingin bertanya satu hal padamu,” kata Jongwoon.
“Apa itu?”
“Apa aku tampan?” tanya Jongwoon dengan wajah serius. Hyerin seperti terlonjak kaget mendengar pertanyaan kekasihnya itu, kalau saja bukan di tengah jalan dan banyak orang dia pasti akan tertawa kencang saat ini.
“Ya! Apa yang kau pikirkan? Jawab pertanyaanku,” kata Jongwoon yang belum mendapatkan jawabannya. Hyerin mencoba menahan tawanya. “Menurutmu sendiri?” tanya Hyerin.
“Aish aku ini bertanya padamu kenapa kau bertanya balik, kalau menurutku tentu saja aku ini tampan,” jawabnya narsis. Lagi-lagi Hyerin menahan tawanya. “Baiklah kalau Oppa merasa tampan, menurutku juga begitu,” jawab Hyerin masih tetap menahan tawanya.
Jongwoon menjitak kepala Hyerin. “Dasar evil,” kata Jongwoon. Hyerin akhirnya tertawa, ia tidak sanggup lagi menahan tawanya. Jongwoon menatap sekilas gadis yang ia rangkul lalu mengecup puncak kepalanya. “Dasar gadis aneh,” ujarnya.
-oo-
Hari pemakaman telah tiba.
Semua teman Hyerin mengantarkannya ke tempat pembaringannya yang terakhir. Aku tak sanggup menatapnya ditimbun tanah sedikit demi sedikit. Airmataku tak mampu untuk keluar lagi, mimpiku hilang bersamaan dengan kepergiannya. Aku tidak bisa menyalahkan dirinya atau Tuhan, aku yakin ini mutlak keputusan Tuhan untukku.
Pemakamannya selesai, para pelayat perlahan meninggalkan pusara Hyerin yang masih basah namun aku masih disini, masih menatap pusara itu dengan tatapan cinta yang aku punya.
Aku berjongkok, mengusap pusaranya seakan aku mengusap wajahnya. “Sampai bertemu di pesta pernikahan kita disurga,” ujarku seperti bisikkan. Aku berdiri lagi kemudian berjalan meninggalkan pusaranya. Apapun yang terjadi aku akan tetap menikah.
-oo-
Hyerin menatap Jongwoon yang perlahan meninggalkan makamnya, kemudian ia menghela nafas.
“Tugasmu selesai Hyerin-sshi, kembalilah ke surga sekarang.” Sebuah suara mengejutkan Hyerin, ia menoleh kearah belakang dan menemukan sosok malaikat bersayap seperti dirinya. “Aku tidak bisa, ku mohon berikan aku beberapa waktu lagi, aku harus memastikan dia menemukan orang yang pantas,” pinta Hyerin.
Malaikat itu tersenyum.
“Aku berikan waktu satu minggu, lakukanlah semampumu setelah itu aku tidak bisa memberikan waktu lagi padamu,” katanya. Mendengar permintaanya di kabulkan senyum Hyerin terkembang di wajahnya ia mengucapkan terimakasih pada malaikat itu lalu meninggalkan tempatnya untuk menyusul Jongwoon.
Hyerin datang saat Jongwoon mengendarai mobilnya kencang, pikirannya sedang kacau dan yang ia inginkan saat in hanyalah mati.
Hyerin menggeleng, Jongwoon tidak berubah sama sekali. Ia menggunakan kekuatannya untuk menghentikan Jongwoon namun sesuatu yang tidak terduga terjadi. Seorang gadis manis berlari  persis didepan mobil Jongwoon. Reflek pria itu membanting stir ke kanan dan menginjak rem.
Namun sayang, ujung mobil Jongwoon sempat membuat gadis itu terpelanting kecil ke aspal dan mengaduh kesakitan.
Nafas Jongwoon memburu, ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Hyerin memandang Jongwoon cemas, ia ingin sekali memeluk pria dihadapannya itu sekarang juga agar Jongwoon tidak perlu merasa cemas seperti ini.
Tiba-tiba Jongwoon keluar dari mobil, Hyerin mengikutinya untuk tahu apa yang akan dilakukan olehnya. Jongwoon menghampiri gadis yang masih terduduk di aspal itu. Semua orang menatapnya namun tak ada yang mau membantu gadis itu. “Gwenchana?” tanya Jongwoon terlihat khawatir.
Hyerin masih menatap keduanya dari jarak dekat. Gadis yang ditanya itu tidak menjawab, ia hanya menangis sambil mengusap lengannya yang berdarah. Jongwoon menjulurkan tangan kanannya ke wajah gadis itu. Melihat sebuah tangan terjulur kehadapannya, gadis itu mendongak dan menatap Jongwoon.
Wajahnya penuh dengan airmata yang mengalir. “Ikut aku kerumah sakit.”
-oo-
“Sekarang katakan padaku dimana rumahmu?” tanya Jongwoon pada Jaesang, gadis yang ia tabrak tadi, saat suster yang membalut perban ditangannya meninggalkan mereka berdua.
Jaesang membungkam mulutnya, ia sebenarnya takut melihat Jongwoon.
“Kau tidak mau mengatakannya?” tanya Jongwoon. Jaesang masih diam.
“Perlihatkan kartu identitasmu, aku akan mengantarmu pulang dan meminta maaf pada ibumu,” kata Jongwoon lagi sambil mengulurkan tangannya meminta Jaesang memberikannya kartu identitas. Jaesang menggenggam tasnya erat lalu menyembunyikan tasnya dibelakang tubuhnya.
Jongwoon yang melihat gerakan tangan Jaesang mendesah ringan. “Kau benar-benar tidak ingin mengatakannya?” tanya Jongwoon, ia sudah mulai putus asa menghadapi gadis dihadapannya ini. Jaesang menggeleng.
Jongwoon mendesah lagi. “Baiklah, aku tidak akan mengantarmu, aku pulang dulu,” pamit Jongwoon. Pria bermata sipit itu berbalik dan berjalan keluar meninggalkan Jaesang yang membulatkan matanya melihat sikap Jongwoon padanya.
Jongwoon masih berjalan perlahan menuju mobilnya dan tidak menyadari kalau seseorang tengah mengikutinya dari belakang. Jongwoon menyalakan mobilnya lalu masuk kedalam mobilnya.
“Ya! Sejak kapan kau masuk kedalam mobilku!” teriaknya ketika baru saja akan menutup pintu dan menemukan sosok gadis.
“Aku ikut ahjussi ya?” pinta Jaesang lembut tak memperdulikan pertanyaan Jongwoon. Ia memasang wajah memelas mungkin agar Jongwoon mau membawanya.
“Kau sendiri kan yang tidak mau kuantar ke rumah? Sekarang kenapa kau ingin ikut denganku?!” tanya Jongwoon setengah membentak.
Ia sebenarnya sudah sangat lelah dan gadis dihadapannya ini benar-benar telah menganggu harinya. Jaesang menunduk, ia sedikit merasa bersalah telah merepotkan ahjussi di hadapannya itu. “Mianhe,” kata Jaesang sebelum ia keluar dari mobil Jongwoon.
Mendengar ucapan maaf Jaesang yang terdengar begitu memelas, hati Jongwoon luluh juga. Ia tidak tega meninggalkan Jaesang sendirian dengan luka ditangannya. Ia menurunkan kaca mobilnya dan menyuruh Jaesang masuk lagi kedalam mobil.
Raut wajah Jaesang berubah, ia menghampiri Jongwoon.
“Benarkah aku boleh ikut?” tanyanya riang. Jongwoon mengangguk.
Melihat anggukan kepala itu Jaesang langsung buru-buru masuk kedalam mobil Jongwoon.
-oo-
Ahjussi, kenapa aku di bawa ke apartementmu?” tanya Jaesang saat mereka baru saja sampai di apartement Jongwoon. “Kau pikir aku akan membayar sebuah kamar hotel untuk kau tinggali? Yang benar saja,” ucap Jongwoon tanpa memalingkan wajahnya dari penal pintu.
Jaesang mengerucutkan bibirnya. “Kau tidak akan macam-macam kan Ahjussi?” tanya Jaesang lagi saat Jongwoon berhasil membuka pintu apartementnya yang macet. “Ah rusak lagi, harus berapa kali aku memanggil petugas disini untuk membetulkannya,” umpat Jongwoon tanpa memperdulikan pertanyaan Jaesang.
Ia menutup kembali pintu apartementnya dan menemukan Jaesang sudah duduk manis di sofa tanpa ijinnya.
“Ya! Siapa yang menyuruhmu duduk?” tanya Jongwoon.
Seketika Jaesang berdiri dari duduknya dan memandang tegang Jongwoon. Melihat raut wajah gadis itu, Jongwoon menahan tawanya.
“Kenapa Ahjussi tertawa?” tanyanya polos.
Air muka Jongwoon berubah lagi, ia mencoba mengendalikan emosinya pada gadis misterius dihadapannya ini. “Memang tidak boleh? Duduklah, aku mau membersihkan diriku dulu,” kata Jongwoon lalu meninggalkan Jaesang sendirian di ruang tamu.
Sejak ditinggal Jongwoon, sifat ingin tahu Jaesang tidak bisa dikendalikan. Ia sibuk memandangi foto diruang tengah apartement Jongwoon. “Ahjussi ini punya kekasih yang begitu cantik,” ujar Jaesang sambil terus menatap foto itu.
Hyerin memandangi Jaesang dengan senyum manisnya, ia seperti bercermin pada dirinya sendiri ketika ia menjadi manusia. “Apa Tuhan memberikannya malaikat lain?” tanya Hyerin lirih. Ia sedikit cemburu dengan ucapannya sendiri. “Ah tidak mungkin, malaikat Jongwoon itu hanya aku,” katanya lagi dengan percaya diri.
Tiba-tiba Jaesang menjatuhkan sesuatu. Tumpukan undangan pernikahan Jongwoon dan dirinya yang sudah ditarik lagi dari para undangan. Hyerin menatap undangan berwarna jingga pucat itu dengan sendu. “Andai saja aku seorang manusia,” ujarnya.
“Apa ini?” tanya Jaesang sambil memungut salah satu undangan. Dia membaca nama yang tertera disana dengan seksama. “Jongwoon-Hyerin. Oh jadi nama Ahjussi itu Jongwoon,” kata Jaesang berbicara sendiri saat melihat foto Jongwoon dan kekasihnya di undangan tersebut.
“Kau sudah… Ya! Apa yang kau lakukan!”
Jongwoon baru saja keluar dari kamarnya dan ingin menghampiri Jaesang namun ia terkejut saat Jaesang sudah berada diruang tengah sambil membaca undangan pernikahannya. Ia menghampiri Jaesang dan merampas kartu undangan itu dengan kasar.
“Kau ini tidak pernah diajarkan sopan santun ya oleh orangtuamu?” tanya Jongwoon yang kesal melihat kelancangan Jaesang.
Yang dimarahi hanya diam dan menunduk. “Mianhe,” katanya. Sekarang ia ketakutan setengah mati melihat api amarah menutupi tubuh Jongwoon.
-oo-
Flashback
“Aku tidak mau! Pokoknya aku tetap tidak mau!” teriakku pada Oemma.
Wanita paruh baya itu sudah mengangkat sapu tinggi-tinggi siap memukulku namun aku menantangnya. “Pukul saja Oemma, bukankah itu yang selalu kau lakukan agar aku menuruti perintahmu,” kataku lagi.
Ia membulatkan matanya yang sipit. “Kau!”
Ia semakin tinggi mengangkat sapunya, kalau saja Appa tidak datang mungkin sapu itu sudah mendarat indah ditubuhku.
“Kau ini memperlakukan Jaesang seperti anak kecil saja, dia sudah dewasa,” kata Appa membelaku. “Dia membantah ucapanku!” bentak Oemma tidak mau kalah.
“Bagaimana aku harus menuruti perintah konyolmu Oemma, aku tidak mau dijodohkan!” teriakku lagi. Kali ini aku benar-benar sudah gerah dengan bujukan dan perintah Oemma agar aku mau menikah dengan pria yang tidak aku cintai.
Kalau saja pria itu tampan seperti Choi Siwon mungkin aku tidak akan menolak, tapi aku akan dinikahkan dengan pria hampir seumuran Appa-ku, yang benar saja. Aku juga akan pilih-pilih kalau akan dijodohkan.
“Tapi pria yang akan kau nikahi itu kaya raya! Kita bisa memperbaiki  keuangan keluarga kita!” bentak Oemma, aku memandang Oemma gahar.
“Kau sedang menjualku ya? Aku tidak mau, sekaya apapun dia aku tidak mau!!” kataku lagi.
Aku mulai beranjak dari kursiku namun Oemma menjambak rambutku. “Ya! Oemma lepaskan tanganmu!” teriakku.
“Ya! Jaesu lepaskan tanganmu,” kata Appa dengan nada khawatir. Ia membantuku melepaskan jambakan Oemma pada rambutku.
“Kalau Oemma terus memaksaku, aku akan kabur dari rumah,” ancamku. Appa terkejut mendengar ancamanku namun tidak dengan Oemma, dia malah mencibirku dan mengatakan kalau aku tidak akan berani keluar dari rumah.
“Jangan menyesal dengan ucapanmu Oemma,” timpalku ditengah pembicaraannya.
Aku masuk kekamar, memasukkan beberapa helai pakaian ke tas ranselku dengan sembarangan, mengambil ponselku dan beberapa uang tabungan yang kupunya. Setelah berkemas aku keluar lagi dari kamarku. Melihat persiapanku mata Oemma terbelalak, ia tidak menyangka aku akan senekat itu.
Tanpa mendengar larangan Appa dan Oemma aku keluar rumah dan berlari sekencang mungkin, aku tidak mau kembali kerumah itu. Tidak mau!
-oo-
“Jadi kau kabur hanya karena tidak mau dijodohkan?” tanya Jongwoon saat aku menceritakan kisahku padanya, aku mengangguk.
“Aku kan juga ingin menikah dengan pria yang aku cintai,” kataku.
Jongwoon mengangguk. Ia sibuk memasukkan makanan kedalam mulutnya.
“Aku boleh bertanya?” tanyaku.
Ia mengangguk tanpa memalingkan wajahnya.
“Aku lihat di kartu undangan, pernikahanmu akan dilaksanakan besok tapi kenapa kau sepertinya santai-santai saja?” tanyaku tanpa berdosa.
Jongwoon menghentikan aktifitasnya, ia meletakkan sendoknya di meja kemudian menatapku. Dari lingkar matanya aku melihat sebuah kesedihan mendalam, airmatanya bahkan sudah menunggu jatuh dipelupuk matanya.
“Aku kehilangan dirinya untuk selamanya,” katanya. Setelah mengatakan itu ia beranjak, masuk ke kamarnya dan meninggalkanku sendirian yang tidak mengerti apa yang sedang dirasakan olehnya.
Apa aku salah melontarkan pertanyaan?
Atau kekasihnya sudah pergi meninggalkan dirinya dengan pria lain?
Aku menghempaskan badanku ke kursi. Selera makanku hilang. Besok pagi aku akan meminta maaf padanya.
Aku memutuskan untuk tidur disofa saja, aku sudah menumpang disini jadi aku tidak boleh rewel. Tidak mungkin juga aku meminta Ahjussi untuk tidur dikamarnya, bisa-bisa dia berteriak lagi padaku.
Aku memejamkan mataku. Sudah hampir tengah malam, pantas saja kalau mataku terasa berat dan harus segera ditutup. Namun, baru saja aku memejamkan mataku sebentar, seseorang menepuk pundakku perlahan. Mau tak mau aku membuka mataku dan melihat siapa yang berani melakukannya.
Aku menatap langit biru diatasku, meraba apa yang tanganku raih dan kemudian bangun terduduk dan memandangi hamparan bunga yang luas. Sedang berada dimana aku? Bukankah aku masih berada di ruang tamu rumah Ahjussi itu?
“Jaesang-sshi,” panggil seseorang dengan suara lembut dari arah belakangku. Aku menoleh, seorang wanita cantik mengenakan gaun yang indah menghampiriku dengan senyum yang manis, senyum yang sepertinya aku mengenalnya.
Nuguya?” tanyaku saat ia sudah duduk disampingku.
Ia hanya tersenyum.
“Apa kita pernah saling mengenal?” tanyaku lagi yang masih penasaran.
Lagi-lagi dia hanya tersenyum tapi kali ini dibarengi dengan anggukan kepalanya. “Lebih tepatnya kau akan mengenalku,” jawabnya. Keningku berkerut, aku tak mengerti sama sekali jawaban yang keluar dari bibir mungilnya itu.
“Jadi bagaimana kau tahu namaku tapi aku tidak tahu namamu?” tanyaku.
Dia tertawa kecil, menganggap pertanyaanku sebuah lelucon yang pantas untuk ditertawakan. “Seseorang pasti akan memperkenalkan kita suatu saat nanti,” katanya meyakinkan. Aku semakin tidak mengerti dengan pembicaraannya.
“Kenapa bukan kau saja yang memperkenalkan dirimu padaku? Toh, kita juga sudah bertemu kan?” tanyaku lagi sedikit memaksanya untuk memberitahuku siapa namanya. Lagi-lagi wanita itu menggeleng. “Aku tidak bisa, seseorang itu bisa terlonjak kaget kalau kau menceritakannya saat kau bangun nanti,” jawabnya.
Aku mengerutkan keningku lagi, saat aku bangun nanti? Jadi aku sekarang berada dialam mimpi?
“Apakah aku sedang berada dialam mimpi?” tanyaku. Dia mengangguk.
Tiba-tiba sinar matahari menyorotku seperti lampu sorot, panasnya menusuk kulitku dan membuatku mengerjap-ngerjapkan mataku. Tak lama pemandangan dimataku berubah.
Aku memandang jendela kamar yang terbuka dan membebaskan cahaya matahari masuk kedalam kamarnya dan menyorot tubuhku yang berselimut. Tunggu, berselimut? Seingatku aku tidak memakai selimut semalam.
Aku bangun terduduk dan mengedarkan pandanganku, ruangan ini seperti sebuah kamar. Lalu aku menatap sebuah foto dimeja kecil yang bersebelahan dengan tempat tidur. Foto Ahjussi itu, aku segera terlonjak kaget dan buru-buru keluar kamar.
Kulihat Ahjussi sedang memasak didapur, mendengar suara pintu terbuka ia segera berbalik.
“Sudah bangun?” tanyanya. Aku tak menjawab, pertanyaan itu memang tidak perlu jawaban.
“Bersihkan dirimu lalu bantu aku menghabiskan sarapan ini,” katanya sambil menunjuk nasi goreng buatannya. Aku meringis lalu mengangguk.
Saat air mengucur perlahan ditubuhku, aku memikirkan kenapa aku bisa tidur dikamar Ahjussi dan sepertinya ia tidak marah soal kejadian semalam?
Apa aku berjalan sambil tertidur lalu mengusirnya dari kamarnya sendiri? Ah tidak mungkin, selama aku hidup aku tidak pernah tidur sambil berjalan.
Atau dia menggendongku karena merasa kasihan denganku?
Atau… Aku menggeleng kuat, tidak mungkin Ahjussi itu melakukan hal yang macam-macam padaku.
Aku masih mencoba menghilangkan pemikiran negatifku soal Ahjussi itu saat melihatnya makan sendirian sambil membaca koran.
Annyeong,” sapaku saat menarik kursi dihadapannya dan duduk dengan manis. Dia menurunkan korannya dan tersenyum memandangku. Aku rasa dia sudah melupakan kejadian semalam jadi sebaiknya aku tidak usah mengungkit masalah itu lagi, aku tidak mau melihatnya sedih lagi.
Eh? Apa ini? Kenapa tiba-tiba aku jadi memikirkan keadaan hatinya? Aish, ini tidak boleh terjadi.
“Bagaimana tidurmu semalam?” tanyanya, sekarang ia sudah melipat korannya dan fokus pada makanannya. Mendengar pertanyaannya aku jadi ingat kejadian saat aku bangun tadi.
Ahjussi, apa kau yang memindahkanku dari sofa ke kamarmu?” tanyaku perlahan, mencoba mengatur nada pembicaraanku agar tidak terdengar percaya diri. Kulihat ia menganggukkan kepalanya tanpa menoleh kearahku.
Aku tersenyum senang, setidaknya ia memang memindahkanku bukannya aku yang tidur sambil berjalan dan mengusirnya dari kamarnya sendiri.
“Kenapa kau tidak memintaku untuk tidur dikamarku?” tanyanya sambil mengangkat kepala dan memandangku, aku menggeleng. “Aku tidak mau merepotkanmu,” jawabku.
“Dengan kau tinggal disini saja sebenarnya sudah amat merepotkan, jadi untuk apa kau merasa tidak nyaman seperti itu?” timpalnya. Ia kemudian bangkit dan mengambil piringnya yang telah bersih lalu menuju dapur.
Mendengar perkataannya barusan membuatku makin tidak nyaman, dia benar, aku terlalu merepotkan baginya. Aku ikut bangkit dari bangkuku lalu mengambil tasku yang berada di atas sofa tempatku tidur semalam.
Ahjussi yang keliatannya sedang mencuci piring di dapur berteriak, “Apa yang kau lakukan?”
Aku terdiam sambil mengemasi barang-barangku yang sempat aku keluarkan dari tasku. “Kau sedang apa?”
Aku terlonjak dan jatuh terduduk saat mendengar suara beratnya ditelingaku. Aku mendongakkan kepalaku dan memandangnya yang berdiri dibelakangku sambil menatapku heran. “Kau membuatku terkejut,” kataku sambil bangkit dan kembali meneruskan kegiatanku.
“Aku tanya, kau sedang apa?” tanyanya mengulang pertanyaan yang sama. “Mengemasi barang-barangku Ahjussi, aku tidak akan tinggal disini, Mianhe,” kataku sambil bangkit dan membungkuk dihadapannya.
“Habiskan dulu makananmu baru kau boleh pergi,” katanya seraya berlalu tanpa memperdulikan keinginanku untuk pergi. Aku memandang punggungnya yang menghilang dibalik tembok dapur, “Dia benar-benar tidak peduli padaku,” gumamku tak jelas.
-oo-
Ahjussi itu menyebalkan, bagaimana mungkin dia bisa setega itu mengusirku dari apartementnya?
Ah, memang bukan dia sih yang mengusirku dan bukan dia juga yang memintaku untuk tinggal di apartementnya namun, aku ini kan gadis yang cantik! Bagaimana kalau aku digoda oleh orang-orang jahat!
Aku terus membatin dan menghentakkan langkahku ke aspal yang kulewati. Sudah sangat jauh sekali aku berjalan dari apartement Ahjussi itu, dan dia benar-benar tidak mencegahku untuk pergi. Laki-laki macam apa itu membiarkan gadis sepertiku berkeliaran dijalan seorang diri. Dasar tidak bertanggung jawab.
Sebuah klakson menjerit di belakangku. Aku menoleh hendak memarahi supirnya karena klakson yang dibunyikan bisa saja membuatku tuli. Namun, baru saja aku membuka mulutku, kaca mobilnya terbuka dan Ahjussi menyebalkan menyembulkan kepalanya. “Masuklah,” perintahnya.
Aku menurutinya.
Bersamaan dengan pintu yang tertutup dia meluncurkan mobilnya ke suatu tempat. “Temani aku berdoa,” katanya saat ia mematikan mesin mobilnya dan keluar. Aku tak perlu menganggukkan kepala sepertinya karena dari nadanya ia seperti memberi perintah bukan meminta pertolongan.
“Sampai kapan kau akan terus diam didalam sana?!” teriaknya dari luar mobil. Aku buru-buru mengambil tasku dan menyusulnya yang mulai masuk kedalam gereja.
Aku mengambil duduk disampingnya, tidak persis disampingnya namun aku dapat melihat jelas airmata mengalir perlahan di pipinya saat ia sedang berdoa. Apa ia sesedih itu karena pernikahannya batal?
Ah bicara apa aku ini, tentu saja dia merasa sedih, bisa saja wanita yang akan dinikahinya itu wanita yang sangat ia cintai. Tapi, apa yang menyebabkan pernikahannya batal? Sepertinya ia belum menceritakannya. “Memangnya aku siapa sampai dia harus menceritakan masalahnya padaku?” gumamku.
Kajja,” kata Ahjussi itu. Aku menoleh namun ia sudah berjalan menjauh dariku. Aku bangkit lalu mengejar langkahnya.
“Kau boleh tinggal di apartementku,” katanya saat aku sudah mensejajarkan langkahnya. Aku terperangah, apa dia bilang? Aku boleh tinggal di apartementnya.
“Benarkah? Bukankah aku merepotkanmu?” tanyaku.
Dia berhenti melangkah, aku mengikutinya. “Lakukan 2 hal saat kau tinggal di apartementku, jangan panggil aku Ahjussi karena aku tidak setua yang kau pikir dan jangan pernah kau berani bangun setelah aku membuka mata lebih dulu,” katanya dingin.
Aku menelan ludahku, apa dia bilang? Aku harus mendahului dia bangun? Sedangkan tadi saja masih pagi buta saat aku bangun tidur dan dia sudah bangun lebih dulu. Apa aku harus begadang?
Dia mulai melangkahkan kakinya lagi saat pikiran-pikiran itu memasuki otakku. Aku berlari mengejarnya, “Lalu aku harus memanggilmu apa?” tanyaku dengan nafas terengah-engah.
“Terserah, aku bukan pamanmu,” jawabnya.
“Lalu setiap pagi kau bangun jam berapa?” tanyaku lagi.
Dia menghentikan langkahnya dan memandangku. “Itu bukan urusanmu,” katanya, kemudian ia berjalan lagi. Aish aku bisa mati jika berhadapan dengannya setiap hari.
-oo-
Flashback
Oppa, bagaimana masakanku?” tanya Hyerin saat Jongwoon mencoba makanan yang baru saja dimasak oleh Hyerin. Dia memasukkan beberapa daging lagi kedalam mulutnya dan memasang wajah yang membuat dada Hyerin berdegup kencang, pasalnya itu kali pertama ia memasak untuk Jongwoon.
“Lumayan.” Jongwoon menaruh lagi sendoknya dan duduk dibangku meja makan. Wajah Hyerin yang tadi berseri-seri berubah murung. “Aku akan memasak yang lebih enak untukmu,” katanya sambil mengangkat piring dan berniat menaruhnya didalam kotak pencuci piring.
Jongwoon yang menangkap gerik Hyerin mencegahnya. “Mau kau apakan makanan itu?” tanyanya cemas. Hyerin melirik makanan ditangannya lalu memandang Jongwoon polos, “Membuangnya, waeyo?” tanyanya.
“Makanan itu enak, kenapa kau harus membuangnya,” tanya Jongwoon sambil merebut piring dari tangan Hyerin.
“Kau hanya bilang lumayan bukan enak, aku akan buatkan yang enak untukmu bukan lumayan lagi,” katanya mencoba merebut piring digenggaman Jongwoon namun Jongwoon menjauhkannya dari jangkauan Hyerin.
“Kemarikan Oppa, aku akan membuangnya,” kata Hyerin lagi.
Tiba-tiba saja Jongwoon memeluk Hyerin, ia menaruh piring itu diatas meja lalu mendekap tubuh Hyerin lebih kencang.
“Maafkan aku,” katanya. Hyerin tak mengerti maksud dari permintaan maaf Jongwoon yang tiba-tiba itu. Dia melepaskan pelukannya lalu memandang Jongwoon dengan tatapan heran.
“Maaf untuk Oppa?” tanya Hyerin. Ia mengerutkan keningnya dan masih menatap Jongwoon tidak mengerti.
Jongwoon menarik Hyerin dalam pelukannya lagi, “Maafkan aku karena telah berbohong soal masakkanmu, ini enak Hyerin-a,” kata Jongwoon. Didalam pelukan Jongwoon Hyerin tersenyum, ia sebenarnya tahu kalau Jongwoon tadi berbohong namun ia tidak menyangka pria ini akan memeluknya dan merasa bersalah seperti ini.
Hyerin membalas pelukan Jongwoon. “Gweanchana,” katanya riang.
-oo-
Jaesang benar-benar meninggalkan apartementku, setelah mengucapkan salam dan terimakasih ia pergi tanpa mencoba merayuku untuk membiarkannya tinggal disini. Sebenarnya aku tidak keberatan sama sekali, aku hanya bercanda saat mengatakan dia merepotkanku namun aku tak menyangka dia benar-benar menanggapinya serius.
Aku memandangi foto Hyerin yang kupajang diatas meja kamarku.
“Apa aku kelewatan padanya?” tanyaku pada selembar foto itu. Aku tidak yakin tapi sepertinya suara Hyerin masih memenuhi otakku dan dia berkata. “Bodoh! Dia gadis baik tapi kau malah mengusirnya, cepat kejar dia!”
Hyerin seperti memberi perintah padaku. Aish, dasar yeoja nakal, dia masih saja terus menghantuiku dengan suara-suaranya dikepalaku.
“Apa aku benar-benar harus mengejarnya?” tanyaku lagi.
Aku seperti mendengar suaranya lagi. “Tentu saja, dasar bodoh,” umpat suara Hyerin. Aku kesal mendengar umpatan suara Hyerin itu. Kutaruh bingkai foto itu kasar. “Memangnya dia siapa sampai aku harus repot-repot mengejarnya.”
Tiba-tiba angin kencang berhembus dari arah belakangku, aku menoleh dan melihat kaca kamarku belum tertutup dengan sempurna.
Aku beranjak lalu menutup jendela itu. Saat akan berbalik tidak sengaja aku melihat sosok gadis yang aku kenal sedang menatapku dari bawah sembari tersenyum, senyum yang sangat aku kenal. “Shin Hyerin,” batinku.
Aku memastikan lagi apa yang kulihat namun saat memfokuskan pandanganku, bayangannya telah hilang. Aku mendesah pelan.
“Aku sangat merindukanmu,” gumamku. Aku kembali duduk ditempatku tadi dan memandangi foto Hyerin. Aku menyukai senyumnya, mungkin terkesan biasa saja namun aku tahu itu senyuman tulus yang selalu ia berikan.
Satu hal lagi yang aku sukai dari fisiknya, mata bulatnya yang indah. Mata itu yang selalu memancarkan cinta untukku dan selalu membuatku yakin bahwa dia adalah milikku.
Tiba-tiba aku mengingat Jaesang, matanya itu, mata bulat milik Jaesang. Tidak mungkin.
Aku bangkit lalu bergegas menyusul Jaesang sekarang juga, aku harus memastikan apa dia memiliki mata yang sama dengan Hyerin.
Aku melajukan mobilku perlahan, mencoba mencari sosok Jaesang ditengah keramaian saat ini. “Kemana anak itu? Kenapa jalannya cepat sekali?” gumamku yang mulai jengkel karena tidak menemukannya.
Saat sibuk melirik ke kanan dan ke kiri aku menemukan gadis dengan topi rajutan dan tas besar yang amat ku kenal, ku klakson agar dia menoleh. Tapi sepertinya dia terkejut, dia berbalik dengan wajah kesal namun seketika raut wajahnya berubah saat aku menyembulkan kepalaku dan menyuruhnya masuk kedalam mobil.
Dia hanya menurut, mungkin dia takut kepadaku. Setelah dia masuk, aku bingung harus membawanya kemana. Tiba-tiba aku teringat suatu tempat yang seharusnya aku kunjungi hari ini kalau aku jadi menikah dengan Hyerin. Gereja.
“Lalu aku harus memanggilmu apa?” tanyanya dengan nafas terengah-engah saat ia mengejar langkahku yang perlahan menjauh dari gereja. Aku mengajukan syarat padanya kalau ia ingin tinggal di apartementku, bukan syarat yang sulit, aku tidak mau dipanggil Ahjussi, karena aku tidak setua yang dia pikirkan dan aku tidak mau kalau harus memasakkannya sarapan setiap hari jadi aku memberikan syarat kalau dia harus bangun lebih dulu daripada aku.
“Terserah, aku bukan pamanmu,” jawabku cuek sambil terus berjalan, entah kenapa aku suka menggoda.
“Lalu setiap pagi kau bangun jam berapa?” tanyanya lagi dengan nada yang sama. Aku menghentikan langkahku dan memandangnya. “Itu bukan urusanmu,” kataku sebelum melangkah lagi.
Ia masih berada dibelakangku saat aku berbalik dan memandangi gereja megah dihadapanku ini. Dia menatapku lalu berbalik juga dan menatap gereja itu. Aku menghampirinya.
“Ada yang ingin aku ceritakan padamu,” kataku. Dia hanya menoleh lalu mengikutiku yang sekarang duduk dibangku taman depan gereja. Aku sendiri sebenarnya tidak tahu apa yang harus aku ceritakan, melihat matanya mengingatkanku pada Hyerin.
“Gereja ini bagus ya,” kataku membuka pembicaraan, Jaesang mengangguk setuju tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku memandanginya, memandang matanya yang bulat sempurna seperti milik Hyerin. Aku tidak tahu ada dua orang yang memiliki mata indah seperti itu.
“Gerejanya memang indah tapi sayang jauh dari pusat kota,” kata Jaesang tiba-tiba sambil menoleh kearahku, aku buru-buru memalingkan wajahku agar dia tidak tahu aku tengah memandanginya. Aku mengangguk.
“Gereja ini seharusnya menjadi saksi pernikahanku dengan kekasihku,” kataku memulai cerita. Dia masih memandangiku. “Hari ini, harusnya hari ini menjadi hari bahagiaku,” lanjutku. Dia masih bungkam, tak berani memotong pembicaraanku.
“Namanya Shin Hyerin, matanya seindah matamu,” kataku, kali ini aku menoleh dan menatap lekat matanya. Dia seperti terkejut mendengarnya, “Aku?”
Aku mengangguk lalu memalingkan wajahku lagi. Aku tak sanggup menatap matanya yang sempurna itu. “Jongwoon-sshi,” panggilnya. Aku menoleh.
Aku melihat dia seperti sedang menimang-nimang apa yang akan dikatakannya. “Katakanlah,” kataku. Aku tidak mau bersikap kasar lagi padanya. Aku benar-benar menatapnya seperti Hyerin sekarang.
“Kalau boleh tahu, kekasihmu itu… kenapa meninggalkanmu?” tanyanya.
“Tuhan memanggilnya,” jawabku sambil tersenyum getir. Dia menutup mulutnya yang terbuka dengan tangannya, mungkin dia tidak menyangka dengan jawabanku. “Jongwoon-sshi, mianhe, aku tidak…”
Gweanchana,” jawabku memotong pembicaraannya. Aku melihat mata itu benar-benar sendu, sama seperti mata Hyerin ketika merasa bersalah padaku. “Apa aku boleh memelukmu?” tanyaku tiba-tiba. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, saat ini hatiku benar-benar menyuruhku untuk memeluknya.
Dia mengangguk kecil. Kutarik ia kepelukanku, benar-benar sama ketika aku memeluk Hyerin. Pelukannya sehangat Hyerin.
-oo-
Flashback
“Jongwoon-sshi!!”
Hyerin berteriak diseluruh gang kecil yang ia lewati, Jongwoon menghilang dan ia benar-benar takut Jongwoon kembali ke dunianya yang dulu. Sudah 6 bulan Hyerin berhasil membantu Jongwoon merubah dari gaya hidupnya yang penuh dengan ilegalitas.
“Mati kau Jongwoon!!”
Suara seseorang yang menyebut nama Jongwoon membuat Hyerin berlari menuju sumber suara itu, benar saja, ia melihat Jongwoon yang sudah tak berdaya dengan wajah babak belur di kelilingi 5 pria berbadan besar yang membawa berbagai benda tumpul.
Seorang yang ia rasa ketuanya sedang mengangkat sebuah bangku kayu yang siap dilempar kearah Jongwoon. Hyerin tidak tinggal diam, ia berlari kearah Jongwoon dan memeluk pria itu.
BRAK!
Suara bangku patah terdengar menggema, Hyerin memejamkan matanya begitu juga dengan Jongwoon. Kelima pria yang melihat kejadian itu memutuskan untuk pergi dari tempat itu secepatnya.
Jongwoon membuka matanya dan melihat darah segar mengalir di kening gadis yang melindunginya itu. “Hyerin­-a,” ucapnya. Hyerin membuka matanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan suara lemah. Jongwoon mencoba bangkit dan menidurkan Hyerin dipangkuannya, ia meraih ponselnya dan menelpon ambulance.
“Bertahanlah, jangan tinggalkan aku,” gumam Jongwoon sambil menahan airmatanya.
-oo-
Sudah empat hari Hyerin mengikuti Jongwoon dan memastikan Jongwoon tidak menyianyiakan Jaesang begitu saja, mereka sekarang berada di apartement, memasak untuk makan siang mereka sendiri.
Hyerin masih memandangi Jongwoon sambil tersenyum. “Tidak salah mengapa aku mencintainya,” kata Hyerin. “Waktumu tinggal 3 hari lagi.” Suara yang amat dikenal Hyerin terdengar pelan, Hyerin mengangguk, “Aku mengerti,” ucapnya sambil tetap tersenyum.
Hyerin masih menatap Jongwoon yang sedang menyiapkan meja makan sampai Jaesang menjerit dari arah dapur. Terlihat jelas saat itu Jongwoon panik dan segera menghampiri Jaesang yang sedang meniup telunjuknya yang terkena panci yang panas.
Jongwoon menarik tangan Jaesang dan ikut meniup telunjuknya. Hyerin tertawa kecil. “Dia selalu melakukan itu.” Pikirannya kemudian melayang pada kenangannya saat jari Hyerin berdarah ketika mereka masak bersama dan yang Jongwoon lakukan hanya menghisap darah di telunjuknya tanpa mengobatinya dengan obat merah. Dia terlalu mengikuti kisah didalam drama, batin Hyerin.
“Masih sakit?” Hyerin mendengar suara Jongwoon begitu khawatir, raut wajahnya benar-benar menunjukkan kekhawatirannya. Hyerin tiba-tiba murung melihat wajah itu. “Dia tidak pernah menunjukkan raut sekhawatir itu padaku,” gumamnya, ia merasa cemburu pada Jaesang sekarang.
Kemudian dia memutuskan untuk pergi dari tempat itu, ia takut hatinya terbakar cemburu yang lebih besar.
Ia menemui seseorang yang selalu menurutinya, Park Jungsoo, dia jugalah yang mengingatkan Hyerin soal waktunya tadi. “Sudah mau pulang?” tanya Jungsoo lembut. Hyerin menggeleng. “Aku hanya tidak ingin melihat kemesraan mereka,” katanya lesu.
Jungsoo menepuk pundak Hyerin yang tengah menunduk. “Aku seharusnya tidak membiarkanmu jatuh cinta padanya,” kata Jungsoo. Hyerin mengangkat kepalanya dan memandang Jungsoo. “Aku tahu, harusnya aku juga tidak mencintainya,” kata Hyerin.
“Aku merasa tersaingi.” Hyerin mengerutkan keningnya.
“Apa kau masih menyukaiku?” tanya Hyerin. Dia sepertinya percaya diri kalau Jungsoo masih menyukainya seperti dulu, dugaan Hyerin tepat, Jungsoo mengangguk dan tersenyum.
“Tapi aku tidak akan memaksamu, kau yang menentukan pilihan,” kata Jungsoo seakan-akan cinta mereka adalah cinta manusia. Hyerin tersenyum. “Malam ini aku mungkin aku akan masuk kedalam mimpi Jaesang lagi,” kata Hyerin mengalihkan pembicaraan mereka. “Silahkan saja,” jawab Jungsoo.
-oo-
“Kita bertemu lagi.” Hyerin menyapa Jaesang yang tengah duduk di sebuah taman penuh bunga matahari. Jaesang terkejut, ia tidak menyangka akan bertemu gadis yang sama di mimpi yang berbeda.
“Kau sekarang mau mengatakan kau siapa?” tanya Jaesang. Hyerin hanya tersenyum. “Kau sebenarnya sudah mengenalku, perhatikanlah sekelilingmu Jaesang-sshi,” kata Hyerin. Jaesang tampak berpikir, dia mencoba mengingat-ingat siapa yeoja dihadapannya ini.
Baru saja Jaesang ingin bertanya lagi, sosok itu sudah menghilang dari hadapannya. Tiba-tiba suara Jongwoon mengejutkannya, ia berusah mencari sosok itu namun ia tak menemukannya sampai ia merasa tubuhnya diguncang-guncang seseorang.
“Uhm, wae?” gumam Jaesang yang merasa tidurnya terganggu. Jongwoon terus mengguncang tubuh Jaesang. “Bangun, aku tidak bisa tidur,” katanya.
Jaesang bangun terduduk, ia selalu tidak bisa menolak permintaan Jongwoon. “Ada apa?” tanya Jaesang sambil mengucek matanya dan menguap lebar. “Tutup mulutmu saat menguap, kau itu seorang gadis!” bentak Jongwoon yang tidak menyukai sikap Jaesang barusan.
Arrasoe Arrasoe, ada apa?” tanya Jaesang lagi tanpa menghiraukan bentakan Jongwoon tadi, ia benar-benar mengantuk sekarang. “Temani aku berjalan-jalan sekarang ya?” bujuk Jongwoon.
Jaesang langsung membuka matanya lebar, “Apa kau bilang? Malam-malam begini?” tanya Jaesang, Jongwoon mengangguk dengan wajah polos. “Kau gila, diluar dingin sekali, aku ingin tidur saja,” kata Jaesang. Ia bersiap-siap kembali menarik selimutnya namun Jongwoon menariknya lagi. “Ayolah,” bujuk Jongwoon lagi.
Jaesang melirik Jongwoon. “Baiklah.”
Jongwoon menggandeng tangan Jaesang, entah kenapa ia merasa senang saat melakukan hal itu sedangkan Jaesang berulang kali menguap lebar karena kantuknya yang belum terobati. “Kita mau kemana?” tanya Jaesang.
Jongwoon tidak menjawab, dia terus menggandeng tangan Jaesang kesuatu tempat.
“Sudah sampai,” ujar Jongwoon saat mereka berhenti disebuah taman kanak-kanak yang sudah tak terawat. “Untuk apa kita kesini?” tanya Jaesang tak mengerti sambil memperhatikan Jongwoon yang membuka pintu pagarnya dan kembali menggandeng Jaesang masuk ke halamannya yang penuh dengan permainan.
“Aku selalu kesini bersama Hyerin saat kami tidak bisa tidur,” cerita Jongwoon seperti menjawab pertanyaan Jaesang. Yang diberi jawaban mengangguk, ia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakannya ketika Jongwoon menceritakan tentang kenangan dirinya bersama Hyerin, ia sedikit tidak suka mendengarnya.
Jongwoon mengangkat kepalanya dan memandang langit, Jaesang mengikuti apa yang dilakukan Jongwoon. Langit malam ini gelap, tidak diterangi bintang-bintang namun entah kenapa wajah Jongwoon begitu cerah saat melihat langit.
“Aku bisa melihat Hyerin,” gumam Jongwoon.
Jaesang menurunkan pandangannya. “Hyerin lagi,” bisik Jaesang pada dirinya sendiri. Ia benar-benar tidak suka nama itu disebut oleh Jongwoon.
“Apa yang kau katakana Jaesang-sshi?” tanya Jongwoon, sekilas ia bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Jaesang tadi.
Jaesang terkejut mendengar pertanyaan Jongwoon. “Ah, tidak ada apa-apa,” jawabnya sedikit terbata.
“Aku ingin pulang.” Jaesang merajuk pada Jongwoon, melihat wajah muram Jaesang mau tak mau Jongwoon akhirnya pulang. Suasana hening menyelimuti mereka diperjalan pulang, Jongwoon masih menggenggam tangan Jaesang.
“Kau lebih suka dipeluk atau dicium?” tanya Jongwoon tiba-tiba memecahkan keheningan. “Eh?” Jaesang terkejut mendengar pertanyaan Jongwoon namun ia cepat-cepat menjawabnya. “Dipeluk.”
“Alasannya?”
“Alasannya? Hmm aku tidak pernah memikirkan alasannya, yang aku tahu, aku lebih suka dipeluk,” kata Jaesang. Jongwoon lalu melepaskan genggamannya dan merangkul Jaesang, merapatkan jarak diantara mereka. Degup jantung keduanya begitu kencang, masing-masing takut kalau satu sama lain dapat mendengar degupan jantung mereka ditengah kesunyian itu.
“Jangan cemburu lagi soal Hyerin ya,” ujar Jongwoon dengan suara kecil namun Jaesang dapat mendengar jelas kata-kata itu. Ia melirik Jongwoon, ‘darimana ia tahu tentang perasaanku?’ Batin Jaesang.
-oo-
Pagi-pagi sekali pintu apartement seseorang diketuk oleh seseorang. Aku berlari untuk membuka pintu, Jongwoon masih tertidur di tempatnya jadi tidak mungkin aku memintanya untuk membukakan pintu.
“Tuan Jongwoon ada ditempatnya?” tanya seorang yeoja seraya tersenyum saat aku membuka pintu. Aku mengangguk kecil, kupandangi caranya tersenyum dan caranya memandangku. Aku seperti pernah melihatnya namun aku tidak bisa mengingatnya.
“Masuklah, dia masih tertidur, akan kubangunkan dulu,” kataku. Dia hanya mengangguk, kemudian aku masuk dan membangunkan Jongwoon yang tidur diatas sofa. “Ada apa?” tanyanya tanpa membuka matanya.
“Seorang perempuan mencarimu,” kataku. Dia membuka matanya, “Sepagi ini?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. Kemudian dia beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju pintu. Aku kembali ke dapur, sama sekali tidak berminat dengan keperluan Jongwoon. Tiba-tiba aku mengingat wanita di mimpiku, wajahnya mirip dengan wanita yang dua kali masuk kedalam mimpiku.
PRANG!
Suara benda jatuh terdengar dari dalam kamar Jongwoon, aku cepat-cepat masuk kedalam kamar dan mencari apa yang jatuh disana. Sebuah pigura. Aku memungutnya dan melihat foto didalamnya. Foto itu, objek didalam foto itu maksudku. Lidahku tercekat, badanku lemas, perlahan aku jatuh terduduk dilantai. Wanita itu, wanita yang ditemui Jongwoon saat ini adalah Hyerin.
-oo-
Aku memandangnya yang berdiri diambang pintu sambil menatapku dengan mata bulatnya yang indah dan senyumnya yang hangat seperti dulu. “Hyerin,” gumamku sambil berjalan perlahan mendekatinya. Dia mengangguk.
“Aku hanya ingin mengatakan kalau Jaesang adalah gadis yang baik,” kata Hyerin. Aku mencoba memegang wajahnya namun selalu saja tidak bisa, aku seperti menggapai angin. “Bagaimana kau bisa mengenalnya?” tanyaku.
“Aku mengikutimu selama seminggu ini, maafkan aku tidak memberitahumu,” jelasnya. Aku tidak mengatakan apa-apa, aku masih tetap memandanginya tak percaya. “Kau harus tahu Oppa, aku bukanlah seorang manusia, aku adalah malaikat yang ditugaskan untuk menjagamu dan membebaskanmu dari duniamu dulu,”
“Tapi ternyata seiring berjalannya waktu aku jatuh cinta padamu, waktuku telah habis karena ada seseorang yang mampu menjagamu sekarang,” cerita Hyerin sambil memandang seseorang dibelakangku.
Aku menoleh, kulihat Jaesang memandang Hyerin dengan tatapan tak percaya.
“Aku sudah bilang kan kita akan saling mengenal?” kata Hyerin lagi. Aku menoleh lagi pada Hyerin, aku tak mengerti maksud perkataannya. “Kami pernah bertemu dua kali Oppa, dia gadis yang baik,” kata Hyerin lagi.
Jaesang menghampiri kami. Tatapannya tidak lepas dari Hyerin. “Oennie, apa ini benar-benar dirimu?” tanya Jaesang. Aku menyentuh pundaknya, dia tidak menoleh sama sekali. Hyerin hanya tersenyum.
“Jagalah Jongwoon-ku, ah tidak sekarang ia menjadi Jongwoon-mu, jagalah dia, jagalah dia seperti aku menjaganya,” ucap Hyerin. Aku menahan airmata di pelupuk mataku. “Oppa.”
Aku menoleh, namun airmataku ikut jatuh dari mataku. “Jagalah dia seperti kau menjagaku, perlakukan dia dengan baik,” katanya. Aku menggigit bibir bawahku dan mengangguk. Kulihat Jaesang menangis terduduk disampingku, aku memandang Hyerin lagi. Dia masih tersenyum.
“Aku pergi,” katanya sebelum sosoknya menghilang. Aku ingin mencegahnya, aku ingin memeluknya sebelum dia pergi, aku ingin lebih lama dengannya!!
“SHIN HYERIN!!” pekikku. Airmataku mengalir deras di pipiku, kudengar tangisan Jaesang sama kerasnya denganku. Aku menghampirinya, kemudian memeluknya. “Berhentilah menangis,” ujarku.
-oo-
1 tahun kemudian,
Oppa, cepat!” teriak gadis berambut panjang yang ditutupi sebuah topi rajutan. Aku memandangnya malas, “Sabarlah sedikit!” balasku padanya. Dia membalikkan badannya dan melanjutkan langkahnya lagi.
Tak lama ia berhenti pada satu pusara dan berjongkok.
Oennie, aku kembali lagi, mianhe karena membiarkanmu sendiri terlalu lama,” sapanya. Aku memandangnya tersenyum. Jaesang menaruh bucket bunga yang dibawanya lalu membersihkan pusara Hyerin dari daun-daun yang berjatuhan.
Oennie, besok aku akan menikah dengan Jongwoon-mu, apa kau senang?” tanyanya. Tentu tidak ada yang akan menjawabnya, aku masih memandanginya. “Kalau kau senang datanglah besok dihari pernikahan kami, dengan wujud apapun, aku pasti akan merasa bahagia,” katanya lagi sambil terus membersihkan makam Hyerin.
“Jangan dengarkan dia Hyerin-a,” timpalku. Dia menoleh. “Kau diam saja!” teriaknya.
Baru saja aku ingin menjitaknya, Jaesang sudah berbicara lagi pada nisan Hyerin. “Lihat Oennie, dia ingin melakukan tindak kekerasan denganku,” katanya dengan nada sedih. Aku menjitak kepalanya, dia mengaduh kecil sambil mengusap kepalanya.
“Sembarangan saja kalau bicara,” kataku. Dia meringis lalu bangun dari posisinya. “Oennie, dengarkan tadi permintaanku? Jangan lupa datang ya, saranghae,” ucapnya kemudian meninggalkanku sendirian. Aku tak mengejarnya karena aku tahu, dia memang membiarkanku sendiri.
Aku tersenyum dan menghela nafas, “Datanglah, aku harap kau datang, saranghae,” kataku.
Aku berjalan menjauh dari pusaranya, menghampiri calon istriku yang sedang menungguku sambil memandangi langit. Dia benar-benar mirip dengan Hyerin hanya senyumnya yang berbeda, senyum Jaesang jauh lebih indah dari senyum Hyerin.
Kalau Hyerin adalah bidadariku, Jaesang adalah segalanya diatas bidadari. Aku merangkul bahunya.
Kajja,” kataku. Dia mengangguk.
-oo-
Jaesang berjalan anggun di tengah gereja sambil terus tersenyum bahagia menatap Jongwoon. Ia memegang bucket bunga dan berjalan terus menuju altar tempat calon suaminya berdiri menunggunya.
Setelah mengucapkan janji dan sumpah sehidup semati, Jongwoon membuka kotak cincin yang dipegangnya dan mengeluarkan cincin yang akan dipakai oleh Jaesang, namun sayang cincin itu tak sengaja terjatuh dan berguling kearah tamu.
Kedua keluarga pengantin sibuk mencari cincin itu. Jaesang dan Jongwoon saling pandang kemudian seseorang maju ke depan altar sambil mengulurkan tangannya yang memegang sebuah cincin.
“Ini yang kalian cari,” katanya.
Jaesang dan Jongwoon terperangah.
Oennie.”
”Hyerin-a.”
THE END

0 komentar:

Posting Komentar

Copy Paste hukumannya di penjara 5 tahun lho :). Diberdayakan oleh Blogger.
 

A L T R I S E S I L V E R Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting