Selasa, 29 Maret 2011

Pak Basir. Seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab

Diposting oleh Altha Swita Abrianto di 8:48 PM 0 komentar
Namaku Imran, mahasiswa jurnalistik di salah satu Universitas Negeri di Indonesia. Bekerja sebagai wartawan dan penulis lepas sebuah koran daerah. Aku dilahirkan disudut kota Jogjakarta dari sebuah keluarga yang sederhana bahkan bisa di bilang pas-pasan dalam segala hal, Aku mempunya 3 orang adik yang masih sekolah. Ayahku yang seorang pensiunan dan ibuku yang berdagang warung di depan rumah tidak mencukupi kebutuhan keluarga sehingga aku memutuskan untuk bekerja dan menafkahi diri sendiri.

Disinilah aku sekarang, duduk di pinggiran kota Jakarta hanya untuk mencari sebuah berita yang pantas aku berikan untuk atasanku. Bukan berita besar namun berita yang menarik bagi pembaca, lama aku termenung, menatap langit-langit yang mulai keemasan. Hari makin sore namun aku belum dapat 1 beritapun.
Saat sedang termenung dan memikirkan nasibku, aku menatap sekelabatan bayangan di ujung jalan.

Tak lama aku melihat seorang lelaki tua sedang menarik gerobak sampah yang isinya sudah kosong, di wajahnya terlihat wajah lelah dan peluh keringat saat menariknya. Pelan tapi pasti, dengan sisa-sisa tenaganya ia menarik gerobaknya dan melewatiku.
Tidak terlalu jelas namun aku bisa melihatnya, ada senyum ikhlas di wajah bapak itu.
Saat dia mulai jauh entah apa yang membuatku berlari menuju ke arahnya dan memperkenalkan diriku.

***

Namanya Pak Basir, seorang suami dan ayah bagi 5 anaknya. Bekerja sebagai tukang sampah yang penghasilannya tidak bisa dibilang cukup, istrinya seorang pedangang sayuran keliling.
Dulu sekali sebelum menjadi tukang sampah, Pak Basir adalah seorang buruh pabrik yang penghasilannya cukup namun sayang pabrik tempatnya bekerja gulung tikar dan memecat semua pegawainya termasuk Pak Basir.

Hampir beberapa bulan mereka luntang-lantung mencari sesuap nasi, Pak Basir sibuk keluar rumah dan mencari pekerjaan. Namun jaman sekarang mana ada kantor menerima pegawai baru yang cuma lulusan SMA?
Pada masa sulit itu, anak-anak Pak Basir sering sekali menangis kelaparan di dalam kontrakkan. Tetannga yang tidak tega memberi makanan seadanya untuk mereka.

Tak lama, mereka diusir dari kontrakan karena tidak mampu membayar uang sewanya. Akhirnya dengan sangat terpaksa mereka pergi dan mencari tempat tinggal baru.
Dan disinilah sekarang mereka tinggal, di daerah pemukiman kumuh dengan keadaan rumah yang sangat memprihatinkan.
Dindingnya hanya tersusun dari triplek-triplek bekas dan hanya ada 1 ruangan di dalamnya, sungguh sangat kecil untuk sebuah keluarga yang besar seperti Pak Basir.

Saat malam datang, tak ada yang bisa menghangatkan badan mereka yang terkena hawa dingin tak ada pula lampu yang menerangi mereka.
Kekurangan itulah yang membuat hati ini miris.

Anak Pak Basir yang paling sulung berhenti sekolah dan bekerja di pasar sebagai tukang semir sepatu untuk menambah biaya hidup. Pak Basir tidak tega melihat anaknya bekerja namun kondisinya sekarang tidak bisa dipaksakan.
Sempat Pak Basir senang dengan adanya program sekolah gratis bagi keluarga yang kurang mampu namun ternyata pengurusannya susah dan seakan sengaja di buat susah.
Dan akhirnya Pak Basir menyerah dan pasrah dengan jalan yang telah ditakdirkan.

Aku merekam semua cerita Pak Basir melalui alat perekamku sambil menahan haru yang tercipta di rumahnya yang mulai gelap.
Setelah itu aku pamit untuk pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Aku pulang dengan rasa berkecamuk. Antara sedih, marah, dan merasa tidak adil. Ternyata bukan cuma aku yang merasa kekurangan, masih banyak oranglain disana yang jauh lebih layak mendapatkan uluran tangan pemerintah.

Sesampainya dirumah, aku taruh kamera dan tasku di atas kasur. Aku nyalakan komputerku dan mulai menulis apa yang di aku dapatkan hari ini.

***

Editor menyipitkan matanya saat membaca artikel yang aku buat semalam suntuk. Ia sangat berat untuk menerbitkannya di koran, terlalu menyindir pemerintah katanya. Aku memaksanya untuk menerbitkannya, apa salahnya menerbitkan sebuah artikel yang menyindir. Bukannya itu tugas wartawan? Pikirku.
Akhirnya setelah paksaan dan perbincangan yang cukup alot, dia mau menerbitkan artikelku asal aku mau mempertanggung jawabkannya.

Artikel itu dimuat di tempat biasa, tempat kecil dengan judul "Taukah Pemerintah tentang kehidupan Rakyatnya?"
Setelah koran tersebut terbit, banyak email yang masuk ke redaksi menyampaikan kekaguman akan tulisanku. Mereka merasa terwakili dengan cerita Pak Basir yang aku kaitkan dengan isi artikelnya. Namun ada juga yang sangat keberatan dengan isinya, mereka bahkan menuduh bahwa tokoh Pak Basir itu hanya fiktif dan karanganku saja.
Namun aku cuek saja, selama mereka masih menanggapinya dalam hal wajar.

Setelah kejadian itu aku sering menemui Pak Basir dan keluarganya, hanya untuk sekedar bercerita dan berbagi pengalaman hidup.
Bagiku, keluarga Pak Basir adalah keluarga kedua dalam hidupku setelah keluargaku sendiri.


Dibuat saat mengerjakan soal TO Bhs. Inggris di Sekolah tercinta SMK Jayawisata 2 Jaktim (masih tetap menuntut keadilan Pemerintah)

Minggu, 27 Maret 2011

Surat Untuk Presiden

Diposting oleh Altha Swita Abrianto di 8:57 PM 0 komentar
Namaku Amir, bocah berumur 12 tahun yang hidup dengan ibuku di suatu pemukiman miskin sudut Ibukota. Ayahku meninggal 2 tahun yang lalu karena kecelakaan, aku mempunyai seorang adik perempuan berumur 6 tahun.
Aku yang duduk di bangku kelas 6 SD sering membantu ibuku bekerja, beliau bekerja sebagai tukang cuci rumah-rumah warga. Tidak tega dengannya aku  ikutan mencari uang setelah pulang sekolah, menjadi seorang buruh angkut di pasar dekat rumahku.

Kadang beliau marah melihatku bekerja namun ini pilihan hidup kami, kalau saja aku dilahirkan sebagai anak seorang kepala pemerintahan aku tidak akan begini. Aku juga memikirkan keadaan adikku yang harus makan-makanan yang bergizi, aku tidak tega melihatnya hanya makan tahu-tempe setiap hari.

Tahun ini aku akan menamatkan sekolahku dan berniat melanjutkannya namun kendala biaya menjadi penyebab utamanya, ibuku jadi lebih sering bekerja untuk menambah biaya masuk sekolahku nanti. Aku juga tidak berpangku tangan, sebelum menjadi buruh angkut aku bekerja sebagai pengantar koran sore ke rumah-rumah.
Sebenarnya aku tidak ingin melanjutkan sekolahku, kasihan ibuku. Namun beliau memaksa, katanya aku harus menjadi orang pintar supaya bisa menjadi kaya.

Ditiap sembahyangku aku selalu berdoa kepada Tuhan agar meringankan beban kami, meringankan beban ibuku. Namun Tuhan belum mengabulkan doaku. Ibu selalu menangis di tiap sembahyangnya, aku makin tidak tega.
Sore ini aku menulis surat, surat untuk orang penting. Orang nomor 1 di Indonesia dan aku harap dia mau membacanya.
Aku tulis rapi suratku agar dia mau menerimanya, aku selipkan kalimat-kalimat indah yang aku pelajari di sekolah.

Aku bercerita tentang kehidupanku, kehidupan rakyat miskin yang susah untuk mencari sesuap nasi. Mungkin apa yang aku tulis mewakili perasaan semua masyarakat kelas bawah.
Aku bertanya, inikah janji presiden kala masih menjadi calon? Harusnya janji itu ditepati, janji mensejahterakan masyarakatnya.
Jujur, kami sebagai kalangan miskin merasa diasingkan dan merasa tidak di perhatikan padahal pada saat pemilihan suara kami juga di pakai.

Pemerintah terlalu sibuk dengan urusan kenaikan gaji dan pembangunan gedung baru. Sedangkan untuk membuat rakyat sejahtera? Cuma janji. Pemerintah bagiku bodoh, mereka pikir kita makan dengan janji mereka?
Sejenak ku pandangi tulisanku kemudian aku melanjutkannya dengan beberapa kalimat.

Selesai sudah surat itu, aku melipatnya dan memasukkannya ke amplop. Kuberikan nama dan tujuan di amplop tersebut. Aku berjalan ke kantor Pos dan menyerahkannya kepada petugas.
Dia sempat bingung saat membaca nama di amplopnya "untuk Presiden dari seorang anak kecil dari golongan bawah yang meminta keadilan" kataku padanya kemudian aku berjalan keluar kantor Pos yang sendirian di depan mejanya sambil memandangi suratku.


Untuk Pemerintah, dari seorang remaja berumur 18 tahun yang meminta keadilan

Kamis, 24 Maret 2011

We Are SHINING STAR

Diposting oleh Altha Swita Abrianto di 8:51 PM 0 komentar
Udah lama ga posting, yup ! banyak cerita di hidup gue yang ga bisa gue bagi buat banyak orang. Gue juga ngerasa gue sedikit individualistis, gue ngerasa gue jadi tipe orang yang bodo amat sama kehidupan oranglain. Mungkin pengaruh lingkungan juga sih :D

Bukan itu sih yang mau gue permasalahin disini, bukan tentang cinta atau pengkhianatan dari sahabat hahaha *curcol*

Gue cuma mau berbagi cerita, dimana gue menikmati pertemanan gue dengan beberapa orang temen gue di sekolah. Bukan dari jurusan yang sama, itulah yang membedakan kami. Bagi gue perbedaan itu menyatukan segalanya dan gue harap pertemanan gue sama mereka ga berakhir di PROM NITE bulan Juli nanti.

Ya, kita menyatu karena KOREA. Hal sepele yang bikin gue akrab sama mereka, berawal dari 1 orang lalu merembet ke yang lainnya.
Jujur awalnya canggung, gue bingung gimana harus nyesuaiin keadaan gue sama mereka *takut ga nyambung bo omongannya*

Ternyata eh ternyata mereka lebih nyablak dari gue hahaha tapi gue seneng, seenggaknya mereka nganggep gue ada, nganggep gue temen dan nanyain keadaan gue *elaah pengen bet ditanyain* hahaha

Gue cuma mau bilang, makasih ya temen-temen sehati gue :)
Vini VionolaKyunelza ScarletNate 'aciie'baldZhyta 'Hitomi Arishima'Nika Efriandini, Megaa Rosyana Dewii dan Dhebii Septiianii

Mawar itu Indah

Diposting oleh Altha Swita Abrianto di 4:45 PM 0 komentar
Mungkin jika ada predikat laki-laki paling pengecut didunia, predikat itu pantas aku sanding. Bukan cuma sebatas pemikiran aku saja tapi beberapa temanku juga mengatakan hal itu. Ya, aku akui aku pengecut. Hanya berani melawan preman-preman yang mengganggu di pasar namun tidak berani menyatakan cinta untuk perempuan yang aku cintai.

Namanya Mawar, sahabatku yang sejak lama aku kenal. Ia cantik, pintar dan rajin beribadah. Sejak lama, bahkan sejak dulu kala aku suka dengannya namun saat bertemu dengannya aku tak mampu untuk mengungkapkan kalimat singkat yang menyatakan cinta. Aku cuma takut ditolak.

Siang ini aku penat, seharian hanya mendengarkan radio sambil memikirkan Mawar seorang. Sebuah lagu menyentuh telingaku dan mewakili perasaanku. Aaah makin galau. Pikirku.

Andai ku di hatimu
Andai ku di pelukmu
Andaikan kau menjadi milikku


Oke cukup, aku mematikan radioku dan berjalan ke arah teras. Menatap sore yang indah dengan cahaya matahari keemasan yang menciptakan suasana tenang nan romantis yang indah.
Telpon selularku berbunyi, aku menatap layarnya. Mawar.
Sontak aku loncat kegirangan karena nama Mawar tertera disana. Saking senangnya aku lupa untuk mengangkat telponya, aku diam dan menatap hapeku berharap Mawar menelpon lagi.

Harapan itu nyata, Mawar menelpon lagi. Tanpa pikir panjang aku mengangkatnya, lama kami mengobrol kemudian ia mengakhiri telponnya dan meninggalkanku sendiri yang sedang menahan perasaanku untuknya.

Andai ia tau seberapa menggebu-gebunya perasaan ini, seberapa lama aku menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan cinta dan seberapa lama sering aku memikirkannya dan andai ia tau seberapa banyak lagu yang tercipta untuknya
Aku berganti pakaian, mengambil kunci mobil dan  bergegas menuju rumahnya. Kali ini aku yakin, tanpa memikirkan keputusannya aku yakin untuk mengatakannya sekarang.


Terinspirasi dari seorang Sahabat yang takut menyatakan cintanya untuk seorang perempuan cantik : Indra a.k.a Cakson :)

Petarung AIDS-ku :)

Diposting oleh Altha Swita Abrianto di 4:13 PM 0 komentar
Namanya Randi, seorang pengidap penyakit AIDS yang aku kagumi. Seorang laki-laki yang lahir 23 tahun lalu dari seorang Ibu yang cantik dan seorang Ayah yang sangat bertanggung jawab. Dia pahlawanku, bukan cuma pendapatku tapi juga bagi oranglain yang mengenalnya.

Aku mengenalnya 8 bulan yang lalu saat aku sedang ditugaskan oleh guru sosialku berkunjung ke lembaga AIDS untuk mencari tau bagaimana sosialisasi mereka. Randi tipe orang yang lebih suka menyendiri, saat aku tau aku harus mewawancarainya rasa takut dan canggung itu menghampiri. Beberapa kali aku mencoba membuat suasana nyaman bagi diriku sendiri namun gagal.

Suasana itu sedikit mencair saat aku tertawa mendengar jawabannya yang memang nyeleneh, dia melihatku aneh saat aku tertawa namun sesaat kemudian ia ikut tertawa dan kami mulai akrab satu sama lain.
Seminggu lebih aku sering datang kesana, hanya untuk sekedar mengobrol dengannya.

Seminggu aku mengenalnya, aku tak pernah tau mengapa ia mengidap penyakit AIDS. Bukannya tak mau bertanya, aku tak mau mengganggu privacy-nya karena bagiku privacy seseorang itu lebih penting di bandingkan rasa ingin tahuku yang besar. Yang aku tau, dia seorang yang tegar, tabah dan penyayang.

Aku ingat betul hari itu, hari dimana untuk pertama kalinya ia mengajakku menonton sebuah film. Ia menggandeng tanganku, seolah-olah ia tak mau melepasnya.
Ia mengantri, membelikan tiket dan memilih tempat duduk. Aku yang memperhatikannya tersenyum dan baru sadar betapa manisnya wajah itu.
Bekas luka di pelipisnya membuatnya semakin manis, apalagi senyumnya. Tawanya yang kadang lepas membuatku senang karena Randi orang yang jarang tertawa.

Randi masih tetap memegang tanganku, masih tak ingin di lepasnya walaupun kami masuk ke studio film dan duduk di bangku masing-masing. Jujur, jantungku mendadak berdegup cepat saat dia makin erat menggenggam tanganku, aku tak berani menatapnya. Sampai film diputar Randi tidak melepaskan tanganku, disela-sela film yang diputar ia mendekat ke telingaku dan membisikkan sesuatu.
Aku diam. Tak mampu menjawab, mendadak aku tidak konsen dengan film yang diputar.

***

Randi masih tetap memegang tanganku namun kali ini dengan menatap wajahku yang sudah memerah sejak tadi. Film tadi telah usai sejam yang lalu, dia membawaku ke suatu tempat dimana hanya ada aku, dia dan alam. Aku ingin memalingkan wajahku dan menghindar dari tatapan matanya, namun aku tak mampu dan akhirnya aku pasrah dengan tatapannya itu.

"Jadi? Kepastiannya?" Tanyanya padaku. DEG!. Jantung ini makin berdetak cepat, ia menanyakan jawaban atas pertanyaan tadi di bioskop.
Aku garuk-garuk kepala "Hmm, emang harus dijawab sekarang ya?" Tanyaku polos sambil nyengir, Randi menggeleng. Aku mengangguk, menandakan aku menjawab iya atas pertanyaannya tadi. Randi tersenyum, dia mencium keningku lalu memelukku.
Aku merasakan bau tubuhnya yang hangat, aku pejamkan mataku dan merasakan pelukannya yang mesra. Tak lama, aku merasakan sesuatu yang basah menempel di bibirku. Randi menciumku.

***

6 bulan berlalu begitu cepat, banyak yang aku lewati bersama Randi. Kami tertawa bersama, menangis bersama dan berbagi cerita.
Namun, 2 bulan yang lalu aku kehilangan semuanya, kehilangan raga itu, kehilangan tawa itu, kehilangan tangis itu dan kehilangan saat berbagi itu namun aku tau aku tidak pernah kehilangan cinta itu.
Randi pergi, pergi selamanya karena Tuhan telah memanggilnya.
Bagiku Randi malaikat, pahlawan dan sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Bagaimanapun orang lain menilainya Randi tetap menjadi Randi yang aku kenal.

Tak ada tangis untuk kepergiannya karena dari awal aku tau bahwa semua yang hidup akan kembali padaNya.
Aku menatap pusaranya, menatap nisannya dengan senyuman.
"My Randi My hero, you're still in my heart"



Terinspirasi dari sebuah buku "Waktu Aku sama Mika" - Indi :)

Rabu, 23 Maret 2011

Cinta diatas Tissue

Diposting oleh Altha Swita Abrianto di 5:11 PM 0 komentar
Aku memandanginya seraya tersenyum, wajah manis itu yang selalu mengusik tidur nyenyakku. Namanya Silvi, seorang mahasiswi Sastra Indonesia di salah satu Perguruan Tinggi di  Jakarta.
Dia duduk di depanku, berkutat dengan sebuah tissue dan bolpoinnya. Entah apa yang di tulisnya, aku ingin melihat tapi Silvi selalu melarang.

Aku masih menunggunya selesai menulis. Kadang aku kesal dengannya, seperti tidak tau tempat idenya datang begitu saja dan mengusik ketenangan kami berdua. Dia tampak serius menulis kata-kata itu, menulis banyak hal yang ada dalam benaknya sekarang sesekali ia berhenti menulis kemudian melanjutkan tulisannya.

Keseriusannya semakin membuat wajahnya makin manis, makin enak untuk dilihat. Ia selesai menulis, memandang wajahku dan tersenyum lebar kemudian menyerahkan tissuenya untukku baca. Ia selalu pamer dengan tulisan-tulisannya.

Bukan sesuatu yang indah tapi kalimatnya sangat mewakili perasaannya sekarang.
Tuhan itu baik, dia menciptakan kamu untuk aku cintai. Tapi kadang sempat terpikir olehku, Tuhan itu jahat karena dia menciptakan lubang yang besar bagiku untuk memilikimu :(

Aku menatapnya, dia tersenyum manis. Tatapannya itu yang membuatku meraih bolpoin di tangannya dan menuliskan kalimat di tissue yang sama.
Kamu tau anak kecil? Aku lebih suka bagaimana cara mereka menyayangi dan mencintai pasangannya, bukan karena kepolosan mereka tapi karena mereka tidak memperdulikan apapun. Yang mereka tau, mereka saling mencintai dan itu yang harus mereka pertahankan :) - Indra

Aku menyerahkan tissue itu kepadanya, dia membacanya kemudian tersenyum lalu menuliskan kalimat lagi.
Aku mengerti, masih banyak jalan menuju Roma kan? :D

Dia memberikan kembali tissue itu padaku, aku tertawa dan mengangguk kemudian aku bangun dari kursiku dan meraih kursi didekatnya. Aku mendekat, berbisik ke telinganya "Aku mencintai kamu"

Selasa, 29 Maret 2011

Pak Basir. Seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab

Karya : Altha Swita Abrianto di 8:48 PM 0 komentar
Namaku Imran, mahasiswa jurnalistik di salah satu Universitas Negeri di Indonesia. Bekerja sebagai wartawan dan penulis lepas sebuah koran daerah. Aku dilahirkan disudut kota Jogjakarta dari sebuah keluarga yang sederhana bahkan bisa di bilang pas-pasan dalam segala hal, Aku mempunya 3 orang adik yang masih sekolah. Ayahku yang seorang pensiunan dan ibuku yang berdagang warung di depan rumah tidak mencukupi kebutuhan keluarga sehingga aku memutuskan untuk bekerja dan menafkahi diri sendiri.

Disinilah aku sekarang, duduk di pinggiran kota Jakarta hanya untuk mencari sebuah berita yang pantas aku berikan untuk atasanku. Bukan berita besar namun berita yang menarik bagi pembaca, lama aku termenung, menatap langit-langit yang mulai keemasan. Hari makin sore namun aku belum dapat 1 beritapun.
Saat sedang termenung dan memikirkan nasibku, aku menatap sekelabatan bayangan di ujung jalan.

Tak lama aku melihat seorang lelaki tua sedang menarik gerobak sampah yang isinya sudah kosong, di wajahnya terlihat wajah lelah dan peluh keringat saat menariknya. Pelan tapi pasti, dengan sisa-sisa tenaganya ia menarik gerobaknya dan melewatiku.
Tidak terlalu jelas namun aku bisa melihatnya, ada senyum ikhlas di wajah bapak itu.
Saat dia mulai jauh entah apa yang membuatku berlari menuju ke arahnya dan memperkenalkan diriku.

***

Namanya Pak Basir, seorang suami dan ayah bagi 5 anaknya. Bekerja sebagai tukang sampah yang penghasilannya tidak bisa dibilang cukup, istrinya seorang pedangang sayuran keliling.
Dulu sekali sebelum menjadi tukang sampah, Pak Basir adalah seorang buruh pabrik yang penghasilannya cukup namun sayang pabrik tempatnya bekerja gulung tikar dan memecat semua pegawainya termasuk Pak Basir.

Hampir beberapa bulan mereka luntang-lantung mencari sesuap nasi, Pak Basir sibuk keluar rumah dan mencari pekerjaan. Namun jaman sekarang mana ada kantor menerima pegawai baru yang cuma lulusan SMA?
Pada masa sulit itu, anak-anak Pak Basir sering sekali menangis kelaparan di dalam kontrakkan. Tetannga yang tidak tega memberi makanan seadanya untuk mereka.

Tak lama, mereka diusir dari kontrakan karena tidak mampu membayar uang sewanya. Akhirnya dengan sangat terpaksa mereka pergi dan mencari tempat tinggal baru.
Dan disinilah sekarang mereka tinggal, di daerah pemukiman kumuh dengan keadaan rumah yang sangat memprihatinkan.
Dindingnya hanya tersusun dari triplek-triplek bekas dan hanya ada 1 ruangan di dalamnya, sungguh sangat kecil untuk sebuah keluarga yang besar seperti Pak Basir.

Saat malam datang, tak ada yang bisa menghangatkan badan mereka yang terkena hawa dingin tak ada pula lampu yang menerangi mereka.
Kekurangan itulah yang membuat hati ini miris.

Anak Pak Basir yang paling sulung berhenti sekolah dan bekerja di pasar sebagai tukang semir sepatu untuk menambah biaya hidup. Pak Basir tidak tega melihat anaknya bekerja namun kondisinya sekarang tidak bisa dipaksakan.
Sempat Pak Basir senang dengan adanya program sekolah gratis bagi keluarga yang kurang mampu namun ternyata pengurusannya susah dan seakan sengaja di buat susah.
Dan akhirnya Pak Basir menyerah dan pasrah dengan jalan yang telah ditakdirkan.

Aku merekam semua cerita Pak Basir melalui alat perekamku sambil menahan haru yang tercipta di rumahnya yang mulai gelap.
Setelah itu aku pamit untuk pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Aku pulang dengan rasa berkecamuk. Antara sedih, marah, dan merasa tidak adil. Ternyata bukan cuma aku yang merasa kekurangan, masih banyak oranglain disana yang jauh lebih layak mendapatkan uluran tangan pemerintah.

Sesampainya dirumah, aku taruh kamera dan tasku di atas kasur. Aku nyalakan komputerku dan mulai menulis apa yang di aku dapatkan hari ini.

***

Editor menyipitkan matanya saat membaca artikel yang aku buat semalam suntuk. Ia sangat berat untuk menerbitkannya di koran, terlalu menyindir pemerintah katanya. Aku memaksanya untuk menerbitkannya, apa salahnya menerbitkan sebuah artikel yang menyindir. Bukannya itu tugas wartawan? Pikirku.
Akhirnya setelah paksaan dan perbincangan yang cukup alot, dia mau menerbitkan artikelku asal aku mau mempertanggung jawabkannya.

Artikel itu dimuat di tempat biasa, tempat kecil dengan judul "Taukah Pemerintah tentang kehidupan Rakyatnya?"
Setelah koran tersebut terbit, banyak email yang masuk ke redaksi menyampaikan kekaguman akan tulisanku. Mereka merasa terwakili dengan cerita Pak Basir yang aku kaitkan dengan isi artikelnya. Namun ada juga yang sangat keberatan dengan isinya, mereka bahkan menuduh bahwa tokoh Pak Basir itu hanya fiktif dan karanganku saja.
Namun aku cuek saja, selama mereka masih menanggapinya dalam hal wajar.

Setelah kejadian itu aku sering menemui Pak Basir dan keluarganya, hanya untuk sekedar bercerita dan berbagi pengalaman hidup.
Bagiku, keluarga Pak Basir adalah keluarga kedua dalam hidupku setelah keluargaku sendiri.


Dibuat saat mengerjakan soal TO Bhs. Inggris di Sekolah tercinta SMK Jayawisata 2 Jaktim (masih tetap menuntut keadilan Pemerintah)

Minggu, 27 Maret 2011

Surat Untuk Presiden

Karya : Altha Swita Abrianto di 8:57 PM 0 komentar
Namaku Amir, bocah berumur 12 tahun yang hidup dengan ibuku di suatu pemukiman miskin sudut Ibukota. Ayahku meninggal 2 tahun yang lalu karena kecelakaan, aku mempunyai seorang adik perempuan berumur 6 tahun.
Aku yang duduk di bangku kelas 6 SD sering membantu ibuku bekerja, beliau bekerja sebagai tukang cuci rumah-rumah warga. Tidak tega dengannya aku  ikutan mencari uang setelah pulang sekolah, menjadi seorang buruh angkut di pasar dekat rumahku.

Kadang beliau marah melihatku bekerja namun ini pilihan hidup kami, kalau saja aku dilahirkan sebagai anak seorang kepala pemerintahan aku tidak akan begini. Aku juga memikirkan keadaan adikku yang harus makan-makanan yang bergizi, aku tidak tega melihatnya hanya makan tahu-tempe setiap hari.

Tahun ini aku akan menamatkan sekolahku dan berniat melanjutkannya namun kendala biaya menjadi penyebab utamanya, ibuku jadi lebih sering bekerja untuk menambah biaya masuk sekolahku nanti. Aku juga tidak berpangku tangan, sebelum menjadi buruh angkut aku bekerja sebagai pengantar koran sore ke rumah-rumah.
Sebenarnya aku tidak ingin melanjutkan sekolahku, kasihan ibuku. Namun beliau memaksa, katanya aku harus menjadi orang pintar supaya bisa menjadi kaya.

Ditiap sembahyangku aku selalu berdoa kepada Tuhan agar meringankan beban kami, meringankan beban ibuku. Namun Tuhan belum mengabulkan doaku. Ibu selalu menangis di tiap sembahyangnya, aku makin tidak tega.
Sore ini aku menulis surat, surat untuk orang penting. Orang nomor 1 di Indonesia dan aku harap dia mau membacanya.
Aku tulis rapi suratku agar dia mau menerimanya, aku selipkan kalimat-kalimat indah yang aku pelajari di sekolah.

Aku bercerita tentang kehidupanku, kehidupan rakyat miskin yang susah untuk mencari sesuap nasi. Mungkin apa yang aku tulis mewakili perasaan semua masyarakat kelas bawah.
Aku bertanya, inikah janji presiden kala masih menjadi calon? Harusnya janji itu ditepati, janji mensejahterakan masyarakatnya.
Jujur, kami sebagai kalangan miskin merasa diasingkan dan merasa tidak di perhatikan padahal pada saat pemilihan suara kami juga di pakai.

Pemerintah terlalu sibuk dengan urusan kenaikan gaji dan pembangunan gedung baru. Sedangkan untuk membuat rakyat sejahtera? Cuma janji. Pemerintah bagiku bodoh, mereka pikir kita makan dengan janji mereka?
Sejenak ku pandangi tulisanku kemudian aku melanjutkannya dengan beberapa kalimat.

Selesai sudah surat itu, aku melipatnya dan memasukkannya ke amplop. Kuberikan nama dan tujuan di amplop tersebut. Aku berjalan ke kantor Pos dan menyerahkannya kepada petugas.
Dia sempat bingung saat membaca nama di amplopnya "untuk Presiden dari seorang anak kecil dari golongan bawah yang meminta keadilan" kataku padanya kemudian aku berjalan keluar kantor Pos yang sendirian di depan mejanya sambil memandangi suratku.


Untuk Pemerintah, dari seorang remaja berumur 18 tahun yang meminta keadilan

Kamis, 24 Maret 2011

We Are SHINING STAR

Karya : Altha Swita Abrianto di 8:51 PM 0 komentar
Udah lama ga posting, yup ! banyak cerita di hidup gue yang ga bisa gue bagi buat banyak orang. Gue juga ngerasa gue sedikit individualistis, gue ngerasa gue jadi tipe orang yang bodo amat sama kehidupan oranglain. Mungkin pengaruh lingkungan juga sih :D

Bukan itu sih yang mau gue permasalahin disini, bukan tentang cinta atau pengkhianatan dari sahabat hahaha *curcol*

Gue cuma mau berbagi cerita, dimana gue menikmati pertemanan gue dengan beberapa orang temen gue di sekolah. Bukan dari jurusan yang sama, itulah yang membedakan kami. Bagi gue perbedaan itu menyatukan segalanya dan gue harap pertemanan gue sama mereka ga berakhir di PROM NITE bulan Juli nanti.

Ya, kita menyatu karena KOREA. Hal sepele yang bikin gue akrab sama mereka, berawal dari 1 orang lalu merembet ke yang lainnya.
Jujur awalnya canggung, gue bingung gimana harus nyesuaiin keadaan gue sama mereka *takut ga nyambung bo omongannya*

Ternyata eh ternyata mereka lebih nyablak dari gue hahaha tapi gue seneng, seenggaknya mereka nganggep gue ada, nganggep gue temen dan nanyain keadaan gue *elaah pengen bet ditanyain* hahaha

Gue cuma mau bilang, makasih ya temen-temen sehati gue :)
Vini VionolaKyunelza ScarletNate 'aciie'baldZhyta 'Hitomi Arishima'Nika Efriandini, Megaa Rosyana Dewii dan Dhebii Septiianii

Mawar itu Indah

Karya : Altha Swita Abrianto di 4:45 PM 0 komentar
Mungkin jika ada predikat laki-laki paling pengecut didunia, predikat itu pantas aku sanding. Bukan cuma sebatas pemikiran aku saja tapi beberapa temanku juga mengatakan hal itu. Ya, aku akui aku pengecut. Hanya berani melawan preman-preman yang mengganggu di pasar namun tidak berani menyatakan cinta untuk perempuan yang aku cintai.

Namanya Mawar, sahabatku yang sejak lama aku kenal. Ia cantik, pintar dan rajin beribadah. Sejak lama, bahkan sejak dulu kala aku suka dengannya namun saat bertemu dengannya aku tak mampu untuk mengungkapkan kalimat singkat yang menyatakan cinta. Aku cuma takut ditolak.

Siang ini aku penat, seharian hanya mendengarkan radio sambil memikirkan Mawar seorang. Sebuah lagu menyentuh telingaku dan mewakili perasaanku. Aaah makin galau. Pikirku.

Andai ku di hatimu
Andai ku di pelukmu
Andaikan kau menjadi milikku


Oke cukup, aku mematikan radioku dan berjalan ke arah teras. Menatap sore yang indah dengan cahaya matahari keemasan yang menciptakan suasana tenang nan romantis yang indah.
Telpon selularku berbunyi, aku menatap layarnya. Mawar.
Sontak aku loncat kegirangan karena nama Mawar tertera disana. Saking senangnya aku lupa untuk mengangkat telponya, aku diam dan menatap hapeku berharap Mawar menelpon lagi.

Harapan itu nyata, Mawar menelpon lagi. Tanpa pikir panjang aku mengangkatnya, lama kami mengobrol kemudian ia mengakhiri telponnya dan meninggalkanku sendiri yang sedang menahan perasaanku untuknya.

Andai ia tau seberapa menggebu-gebunya perasaan ini, seberapa lama aku menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan cinta dan seberapa lama sering aku memikirkannya dan andai ia tau seberapa banyak lagu yang tercipta untuknya
Aku berganti pakaian, mengambil kunci mobil dan  bergegas menuju rumahnya. Kali ini aku yakin, tanpa memikirkan keputusannya aku yakin untuk mengatakannya sekarang.


Terinspirasi dari seorang Sahabat yang takut menyatakan cintanya untuk seorang perempuan cantik : Indra a.k.a Cakson :)

Petarung AIDS-ku :)

Karya : Altha Swita Abrianto di 4:13 PM 0 komentar
Namanya Randi, seorang pengidap penyakit AIDS yang aku kagumi. Seorang laki-laki yang lahir 23 tahun lalu dari seorang Ibu yang cantik dan seorang Ayah yang sangat bertanggung jawab. Dia pahlawanku, bukan cuma pendapatku tapi juga bagi oranglain yang mengenalnya.

Aku mengenalnya 8 bulan yang lalu saat aku sedang ditugaskan oleh guru sosialku berkunjung ke lembaga AIDS untuk mencari tau bagaimana sosialisasi mereka. Randi tipe orang yang lebih suka menyendiri, saat aku tau aku harus mewawancarainya rasa takut dan canggung itu menghampiri. Beberapa kali aku mencoba membuat suasana nyaman bagi diriku sendiri namun gagal.

Suasana itu sedikit mencair saat aku tertawa mendengar jawabannya yang memang nyeleneh, dia melihatku aneh saat aku tertawa namun sesaat kemudian ia ikut tertawa dan kami mulai akrab satu sama lain.
Seminggu lebih aku sering datang kesana, hanya untuk sekedar mengobrol dengannya.

Seminggu aku mengenalnya, aku tak pernah tau mengapa ia mengidap penyakit AIDS. Bukannya tak mau bertanya, aku tak mau mengganggu privacy-nya karena bagiku privacy seseorang itu lebih penting di bandingkan rasa ingin tahuku yang besar. Yang aku tau, dia seorang yang tegar, tabah dan penyayang.

Aku ingat betul hari itu, hari dimana untuk pertama kalinya ia mengajakku menonton sebuah film. Ia menggandeng tanganku, seolah-olah ia tak mau melepasnya.
Ia mengantri, membelikan tiket dan memilih tempat duduk. Aku yang memperhatikannya tersenyum dan baru sadar betapa manisnya wajah itu.
Bekas luka di pelipisnya membuatnya semakin manis, apalagi senyumnya. Tawanya yang kadang lepas membuatku senang karena Randi orang yang jarang tertawa.

Randi masih tetap memegang tanganku, masih tak ingin di lepasnya walaupun kami masuk ke studio film dan duduk di bangku masing-masing. Jujur, jantungku mendadak berdegup cepat saat dia makin erat menggenggam tanganku, aku tak berani menatapnya. Sampai film diputar Randi tidak melepaskan tanganku, disela-sela film yang diputar ia mendekat ke telingaku dan membisikkan sesuatu.
Aku diam. Tak mampu menjawab, mendadak aku tidak konsen dengan film yang diputar.

***

Randi masih tetap memegang tanganku namun kali ini dengan menatap wajahku yang sudah memerah sejak tadi. Film tadi telah usai sejam yang lalu, dia membawaku ke suatu tempat dimana hanya ada aku, dia dan alam. Aku ingin memalingkan wajahku dan menghindar dari tatapan matanya, namun aku tak mampu dan akhirnya aku pasrah dengan tatapannya itu.

"Jadi? Kepastiannya?" Tanyanya padaku. DEG!. Jantung ini makin berdetak cepat, ia menanyakan jawaban atas pertanyaan tadi di bioskop.
Aku garuk-garuk kepala "Hmm, emang harus dijawab sekarang ya?" Tanyaku polos sambil nyengir, Randi menggeleng. Aku mengangguk, menandakan aku menjawab iya atas pertanyaannya tadi. Randi tersenyum, dia mencium keningku lalu memelukku.
Aku merasakan bau tubuhnya yang hangat, aku pejamkan mataku dan merasakan pelukannya yang mesra. Tak lama, aku merasakan sesuatu yang basah menempel di bibirku. Randi menciumku.

***

6 bulan berlalu begitu cepat, banyak yang aku lewati bersama Randi. Kami tertawa bersama, menangis bersama dan berbagi cerita.
Namun, 2 bulan yang lalu aku kehilangan semuanya, kehilangan raga itu, kehilangan tawa itu, kehilangan tangis itu dan kehilangan saat berbagi itu namun aku tau aku tidak pernah kehilangan cinta itu.
Randi pergi, pergi selamanya karena Tuhan telah memanggilnya.
Bagiku Randi malaikat, pahlawan dan sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Bagaimanapun orang lain menilainya Randi tetap menjadi Randi yang aku kenal.

Tak ada tangis untuk kepergiannya karena dari awal aku tau bahwa semua yang hidup akan kembali padaNya.
Aku menatap pusaranya, menatap nisannya dengan senyuman.
"My Randi My hero, you're still in my heart"



Terinspirasi dari sebuah buku "Waktu Aku sama Mika" - Indi :)

Rabu, 23 Maret 2011

Cinta diatas Tissue

Karya : Altha Swita Abrianto di 5:11 PM 0 komentar
Aku memandanginya seraya tersenyum, wajah manis itu yang selalu mengusik tidur nyenyakku. Namanya Silvi, seorang mahasiswi Sastra Indonesia di salah satu Perguruan Tinggi di  Jakarta.
Dia duduk di depanku, berkutat dengan sebuah tissue dan bolpoinnya. Entah apa yang di tulisnya, aku ingin melihat tapi Silvi selalu melarang.

Aku masih menunggunya selesai menulis. Kadang aku kesal dengannya, seperti tidak tau tempat idenya datang begitu saja dan mengusik ketenangan kami berdua. Dia tampak serius menulis kata-kata itu, menulis banyak hal yang ada dalam benaknya sekarang sesekali ia berhenti menulis kemudian melanjutkan tulisannya.

Keseriusannya semakin membuat wajahnya makin manis, makin enak untuk dilihat. Ia selesai menulis, memandang wajahku dan tersenyum lebar kemudian menyerahkan tissuenya untukku baca. Ia selalu pamer dengan tulisan-tulisannya.

Bukan sesuatu yang indah tapi kalimatnya sangat mewakili perasaannya sekarang.
Tuhan itu baik, dia menciptakan kamu untuk aku cintai. Tapi kadang sempat terpikir olehku, Tuhan itu jahat karena dia menciptakan lubang yang besar bagiku untuk memilikimu :(

Aku menatapnya, dia tersenyum manis. Tatapannya itu yang membuatku meraih bolpoin di tangannya dan menuliskan kalimat di tissue yang sama.
Kamu tau anak kecil? Aku lebih suka bagaimana cara mereka menyayangi dan mencintai pasangannya, bukan karena kepolosan mereka tapi karena mereka tidak memperdulikan apapun. Yang mereka tau, mereka saling mencintai dan itu yang harus mereka pertahankan :) - Indra

Aku menyerahkan tissue itu kepadanya, dia membacanya kemudian tersenyum lalu menuliskan kalimat lagi.
Aku mengerti, masih banyak jalan menuju Roma kan? :D

Dia memberikan kembali tissue itu padaku, aku tertawa dan mengangguk kemudian aku bangun dari kursiku dan meraih kursi didekatnya. Aku mendekat, berbisik ke telinganya "Aku mencintai kamu"
Copy Paste hukumannya di penjara 5 tahun lho :). Diberdayakan oleh Blogger.
 

A L T R I S E S I L V E R Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting