Kamis, 02 Februari 2012

White Christmas (Sequel In My Dream Youre Mine. In Reality Youre My Dream) Part 2

Diposting oleh Altha Swita Abrianto di 7:44 PM
Poster by : Karra @ Fanfictionloverz.wordpress.com

BUK!

Sebongkah bola salju kecil tepat mengenai bahu kananku. Donghae sialan, bukannya meminta maaf dia malah menertawakanku “Awas kau ikan brengsek!” umpatku, aku membungkuk mencoba memungut salju namun tanpa sepengetahuanku Donghae melemparkan sebongkah lagi dan tepat mengenai punggungku.

            “DONGHAE! Kemari kau, dasar ikan bodoh!” teriakku sambil mendekatinya, bukannya ketakukan Donghae malah berlari sambil tertawa dan memungut salju. Aku melemparkan milikku “Kau melempar siapa Nara? Aku ada disini?” ejeknya melihat seranganku tak mengenainya.

            Aku memungut amunisiku kembali, melihatku lengah dia melempar salju lagi dan mengenai kepalaku “DONGHAE! Kau curang!” teriakku.

            “Pabboya” katanya meledek sambil tertawa melihatku tiga kali kena amunisinya tanpa ada serangan balik. Melihatnya tertawa dan lengah, aku melempar salju dan.


            BUK!

            Wajahnya yang bersih itu tertutupi salju “Nara! Saljumu masuk ke mataku” katanya sambil membersihkan salju di wajahnya. Aku tertawa senang, sambil mendekatinya aku melempar lagi badan tegapnya dengan salju-salju “Ya! Kenapa kau melempariku seperti itu?” tanya Donghae yang siap-siap melempariku dengan salju lagi.

            “Sudah Donghae, aku lelah” kataku meminta waktu istirahat namun ia seperti tak mendengarkanku, ia masih saja melempariku yang sedang bersandar disebuah pohon.

            “Ayolah Nara, tidak enak bermain sendirian seperti ini” kata Donghae, aku menggeleng “Aku lelah, lagipula tanganku sudah kedinginan” kataku sambil menunjukkan tanganku yang tidak memakai sarung tangan dan mulai membiru.

            “Astaga, kenapa kau tidak memakai sarung tangan Nara?” tanyanya terkejut sambil menghampiriku dan mengusap-usap tanganku “Aku memang tidak suka memakai sarung tangan” jawabku seraya menatap tanganku yang sedang diusap Donghae, jarakku yang tidak ada semeter dengannya membuatku melihat ketampanan Donghae lebih jelas.

            Dia membuka sarung tangannya yang sebelah kiri lalu memasangkannya pada tangan kiriku sedangkan tangan kananku dimasukkan kedalam saku jaketnya. “Sudah merasa hangat?” tanyanya manis, aku mengangguk. Entah kenapa melihatnya khawatir seperti itu jantungku berdegup lebih cepat.

            Suasana hening sementara.

            “Kencannya hanya seperti ini saja?” tanyaku memulai pembicaraan.

            Donghae menoleh kearahku lalu melihat jam di ponselnya, “Masih terlalu pagi untuk pergi ke taman bermain, tunggu satu jam lagi ya” katanya. Aku mengangguk lalu suasana menjadi hening kembali.

            “Aku mau minum coklat hangat Donghae” kataku merasa udara makin dingin “Baiklah, ayo kita beli” ajaknya sambil menggenggam tangan kananku. Aku menunduk, menatap tanganku dan tangannya yang bertautan dan entah mengapa aku tak ingin melepaskannya, bukan karena dingin tapi sesuatu dihatiku yang melarang aku melepaskan genggaman itu.

            “Ini” katanya sambil menyerahkan segelas cokelat panas, aku menerimanya lalu menempelkannya pada wajahku yang kedinginan “Hahaha kau benar-benar kedinginan ya?” tanyanya sambil tertawa, aku mengangguk sambil menghirup cokelat panasku perlahan “Kau mengajak kencan terlalu pagi Donghae”.

            Donghae menahan senyumnya, “Aku hanya ingin seharian berkencan denganmu, tidak boleh?” tanyanya, aku memanyunkan bibirku “Tapi tidak sepagi ini kan?” ujarku sedikit kesal.

            “Sudahlah, kita sudah setengah jalan kan?”.

             Aku hanya diam tak menjawab pertanyaannya.

          Setelah minum cokelat panas, kami berjalan menuju taman hiburan yang baru saja beberapa menit dibuka. “Tidak terlalu ramai kan Nara? Kita bisa menjadi pengunjung pertama yang naik gondola itu” kata Donghae yang menunjuk gondola besar, aku hanya menuruti langkahnya yang mulai masuk ke wahana tersebut.

            “Aku boleh jujur padamu?” tanyaku saat gondola mulai berputar walau kami satu-satunya pengunjung. “Apa?” tanyanya tanpa menoleh kearahku.

            “Aku takut ketinggian” jawabku lemah.

           Donghae spontan menoleh kearahku “Kenapa kau tidak mengatakannya daritadi?” tanyanya panik, aku masih diam. Lalu dia melihat jam tangannya lagi “Ah! Bagaimana ini, gondola ini berputar selama 15 menit” gerutunya panik.

            Aku tak mampu menahan senyumanku lagi “Kenapa kau tersenyum seperti itu?” tanyanya, bukannya menjawab aku malah melepaskan tawaku.

            “Namja pabboya, mau saja kau ditipu olehku” kataku sambil terus tertawa. Donghae menggeleng kepala tanpa mengeluarkan ekspresi apapun kemudian dia menoleh keluar gondola. Melihatnya seperti itu aku menghentikan tawaku lalu pindah kehadapannya “Kau kenapa?” tanyaku.

            “Aniya, aku baik-baik saja” jawabnya ketus.

            Aku diam mendengar jawabannya.

       “Kau marah?” tanyaku hati-hati. Dia menatapku “Kelihatannya?” dia malah balik bertanya, aku menunduk “Mianhe aku hanya bercanda” sesalku.

            Mendadak gondola berhenti berputar tepat saat kami berada di puncak. Aku menatap Donghae yang sudah menatapku duluan “Kau tidak menyuruh petugas supaya berhenti dipuncak kan?” tanyaku menyelidiki “Kau pikir aku selicik itu” jawab Donghae sengit.

            Tiba-tiba terdengar pemberitahuan dari petugas kalau gondola yang kami naiki sedang mengalami kemacetan mesin dan mereka mencoba memperbaiki secepatnya.

            Aku menatap Donghae dengan tatapan memelas “Kenapa kau memandangiku seperti itu?” tanya Donghae, dia sepertinya masih marah karena gurauanku tadi. Dasar namja manja!. Aku merengkuh diriku sendiri, diatas sini semakin dingin apalagi perlahan salju mulai turun dengan perlahan.

            Kulihat Donghae juga melakukan hal yang sama seperti diriku, lalu aku membuka sarung tangan miliknya dan menyerahkan padanya “Pakailah, ini milikmu” kataku, dia menggeleng lalu memundurkan tanganku “Kau saja yang pakai” katanya.

            Aku memakai sarung tangannya lagi lalu menggosok-gosokkan tanganku supaya hangat. Dia memandangiku, “Kenapa?” tanyaku yang sedikit risih dipandangi olehnya. Dia hanya menggeleng lalu menggenggam tanganku “Dingin?” tanyanya.

            “Bodoh! Jelas saja” kataku.

          Dia tersenyum sambil tetap menggenggam tanganku. “Kencan kita aneh ya?” tanya Donghae tersenyum, aku mengerutkan kening tak mengerti.

            “Iya, harusnya kita bersenang-senang tapi malah terjebak di gondola” jawabnya menjawab keherananku. Aku tertawa mendengar jawabannya “Memang seharusnya kita tidak menaiki ini” ujarku masih tertawa.

            Donghae hanya tersenyum, “Kau tahu kenapa aku marah padamu karena kau membohongiku kalau kau takut ketinggian?” tanyanya. Aku menggeleng. “Aku hanya tak mau kau merasa takut saat bersamaku, aku mohon padamu Nara mulai saat ini tolong bilang padaku kalau kau tidak mau melakukan hal yang tidak kau suka saat bersamaku”  jawabnya.

            Aku mengangguk. Mulutku seakan terkunci untuk membalas kalimat manis yang keluar dari mulutnya, seorang Donghae mengkhawatirkanku. Sepertinya saat ini aku ingin berteriak kegirangan.

            Tiba-tiba dia membelai wajahku, “Wajahmu dingin sekali” ujarnya namun aku tak memberi respon apa-apa.

            Semakin lama aku merasa jarak antara diriku dan Donghae makin dekat, degup jantungku makin kencang berdetak dan aku tak tahu harus melakukan apa disaat seperti ini. Saat wajah Donghae tinggal beberapa senti dari wajahku, gondola bergerak mendadak membuatku dan Donghae terkejut.

            Donghae membetulkan tempat duduknya dan menatapku canggung. “Mian, aku hanya ingin membetulkan rambutmu tadi” kata Donghae beralasan, aku hanya tersenyum lalu merapikan rambutku.

**

Aku memandangi pohon natal besar di pusat kota Seoul bersama Donghae, malam semakin larut dan aku tak menyangka sudah seharian ini aku berkencan dengan ikan nemo ini. Aku melihat Donghae yang sedang menikmati kembang api yang menghiasi langit malam Korea Selatan.

            “Malam natal tahun ini sangat indah untukku, bagaimana denganmu?” tanya Donghae yang kemudian memalingkan wajahnya padaku yang sedang menikmati wajahnya, ia terkejut.

            “Kau? Memandangiku?” tanyanya tak percaya.

            Aku menggeleng kuat, “Aniya, aku hanya ingin membersihkan rambutmu dari salju” elakku sambil membersihkan rambutnya. “Oh iya, tadi kau bertanya apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

            “Kau bahagia malam ini?”

            Aku mengedarkan pandanganku, “Tentu saja aku bahagia, ini natal pertamaku” jawabku sedikit pilu, Donghae tak memberi respon. Dia hanya menatapku penuh arti, “Kalau kau? Kenapa merasa bahagia?” tanyaku merubah suasana kembali ceria. Dia menghempaskan nafasnya, “Baru tahun ini aku merayakan dengan orang yang aku sayangi” jawabnya langsung.

            “Maksudmu?” tanyaku.

            Ia tersenyum “Aku ini anak yatim piatu, sejak lahir tak ada yang mau mengakuiku sebagai anaknya bahkan mungkin aku ini hasil hubungan gelap orangtuaku yang tak menginginkan keberadaanku” ceritanya.

            Aku terkejut mendengar cerita Donghae, ia tidak seperti anak panti asuhan yang merasa sendiri, ia pria periang nan menyebalkan dimataku. “Tapi…” kataku, ia menoleh kearahku “… Aku rasa kalau mereka melihat keadaanmu sekarang sepertinya mereka akan menyesal tidak mengakuimu sebagai anak mereka” hiburku.

            “Kenapa?”

            “Karena putra mereka yang tak mereka akui ini mempunyai senyum manis dan wajah yang tampan” jawabku. Dia tersenyum, sepertinya senang mendengar pujianku. Genggaman tangannya makin kencang, wajahnya semakin mendekat. Kilatan cahaya yang diciptakan kembang api tak mampu untukku melihat apa yang dilakukan Donghae, yang aku rasakan saat ini hanyalah. Lembab dan manis dibibirku.

**

Saat aku membuka mataku, aku begitu bersemangat karena ini hari Natal dan semua orang bersenang-senang pada hari ini. “Cepat bersiap-siap, sebentar lagi aku sampai dirumahmu”, kata Donghae di ujung telepon, “Baiklah, kau hati-hati dijalan”, kataku kemudian ia menutup teleponnya.

            “Nara”, sapa ibuku dari luar kamar, “Ne Oemma”, sahutku yang sedang berdandan dicermin.

            “Selamat Natal ya”, katanya.

            Aku menghentikan kegiatanku lalu menghampirinya, “Gomawo oemma, saranghaeyo”, kataku lalu mengecup pipi kanannya, ia tersenyum. “Pergi kencan lagi bersama Donghae?”, tanya Oemma yang tersenyum jahil, kulihat dia sepertinya menyukai Donghae yang ceria dan ramah, “Bukan kencan Oemma, hanya pergi beribadah”, kataku, Oemma mengangguk tapi tetap menunjukkan senyum jahil.

            Baru saja aku ingin mencubit pinggang Oemma, pintu rumahku sudah diketuk seseorang, “Pasti kekasihmu”, tebak Oemma dan membuat wajahku memanas, “Dia belum menjadi kekasihku Oemma, aku pergi sekarang ya”, pamitku padanya dan berjalan menuju pintu, “Nara, belum menjadi kekasih? Berarti sebentar lagi dia akan menjadi kekasihmu kan?”, tanya Oemma, aku terdiam kemudian tertawa, “Oemma, sudahlah”, kataku, dia hanya tertawa.

            “Lama sekali buka pintunya”, kata Donghae saat aku membuka pintu, aku menjitak kepalanya, “Harusnya kau ucapkan selamat natal padaku bukannya malah mengomeliku”, kataku kesal, dia hanya meringis sambil mengusap kepalanya yang kujitak.

            “Donghae-ya, Selamat natal”, kata Oemma yang sudah berada di belakangku. Donghae tersenyum manis, “Selamat natal juga Ahjumma”, jawabnya.

            “Kajja, kalian pergilah beribadah setelah itu cepat pulang, Oemma memasak banyak makanan hari ini”, kata wanita separuh baya itu.

            “Baiklah Ahjumma, Jaljayo”, kata Donghae sambil menggandeng tanganku keluar rumah.

**

“Donghae, aku ingin bertanya sesuatu padamu”, kataku saat kami keluar dari gereja setelah selesai beribadah, “Mwo?”, tanya Donghae.

            “Apa semalam kau menciumku?”, tanyaku berani. Sejak pulang dari kencan dan merasakan bibirku dikecup olehnya diotakku hanya ada nama Donghae dan senyumannya, Donghae menghentikan langkahnya lalu melihatku, “Menurutmu bagaimana?”, tanya.

            Aku mengangkat bahuku, aku yang bertanya kenapa harus aku juga yang menjawabnya benar-benar namja bodoh, “Dan memangnya kenapa kalau aku benar-benar menciummu?”, tanya Donghae lagi, aku memalingkan wajahku yang kurasa mulai memerah, “Ya, kenapa kau palingkan wajahmu?”, tanyanya sambil berjalan kehadapanku.

            “Ah lupakan saja, anggap aku tak pernah menanyakan hal itu”, kataku sambil berjalan namun Donghae menahannya, “Katakanlah Nara”.

            Aku memejamkan mataku dan menghembuskan nafasku yang kutarik dalam-dalam, “Apa itu ciuman pertamamu?”, tebak Donghae, aku membelalakkan mataku, sial! Bagaimana ikan bodoh ini mengetahuinya.

            “Sudahlah Donghae-ya, aku tak ingin membahasnya”, kataku menutupi rasa maluku kemudian berjalan meninggalkannya.

            Donghae mengejarku dan mensejajarkan langkahnya dengan langkahku, “Ciuman semalam itu juga ciuman pertamaku”, katanya membuatku menghentikan langkahku. Aku menatapnya penuh curiga, takut-takut dia bohong agar aku tidak malu namun aku lihat dia tidak berbohong dengan kata-katanya.

            “Banyak yang tidak kau ketahui tentangku Nara, namun suatu saat aku pasti akan menceritakan semuanya padamu”, kata Donghae. Aku masih terdiam saat ia menggenggam tanganku sampai kerumah.

            “Ini kado natalmu”, kataku sambil menyerahkan kado untuk Donghae saat semua orang sudah berkumpul di ruang makan, “Ah gomawo Nara-ya”, kata Donghae sambil menerima kadoku. Aku mengambil dua kado lagi untuk Oemma dan Appa lalu memberikannya pada mereka berdua, “Kami juga mempunyai kado untukmu Nara”, kata Appa dengan wajah ceria, kemudian ia memberikan sebuah kado besar untukku.

            “Wah, kadomu komplit sekali Nara”, kata Donghae yang telah membuka kadoku, aku memberikannya sebuah syal, topi kupluk, sarung tangan dan sweater rajutan buatanku lengkap dengan namanya, “Kau harusnya mengucapkan terimakasih”, umpatku lagi saat melihatnya memakai semua kadoku, dia tersenyum “Gomapta Nara-ya­”, katanya.

            “Aku juga mempunyai kado untukmu”, kata Donghae lagi sambil menyerahkan sebuah kado berukuran kecil.

            Aku menerimanya lalu membuka kadonya. Sebuah kotak, lalu kubuka perlahan, kalung berbandul huruf D. Aku mengerutkan keningku, “Namaku kan Geum Nara, kenapa kau memberi inisial D?”, tanyaku masih tak mengerti.

            Donghae tertawa, “Kau ini sama bodohnya denganku, D itu inisial namaku, aku membelikannya agar kau selalu mengingat namaku”, jawabnya cuek sambil memakan beberapa kue. Aku menatap Oemma dan Appa yang sedang tertawa mendengar jawaban Donghae, “Dasar ikan bodoh”, kataku.

            “Kau harusnya mengucapkan terimakasih”, umpatnya mengikutiku.

            “Terimakasih Lee Donghae”, kataku terdengar terpaksa, Donghae, Oemma dan Appa hanya bisa tertawa mendengar jawabanku.

            “Ahjussi, apa setelah ini aku boleh mengajak anakmu yang tidak terlalu cantik ini berjalan-jalan?”, tanya Donghae memecah keheningan, aku mendelik, enak saja dia bilang aku tidak terlalu cantik.

            Appa menatapku kemudian menoleh ke Donghae, “Ah kau ini terlalu jujur Donghae-ya­”, jawab Appa, Donghae tersenyum sedangkan Oemma hanya bisa menahan senyumnya setelah mengetahui aku menatapnya dengan tatapan tidak enak.

            “Boleh tidak Ahjussi?”, tanya Donghae lagi, Appa hanya mengangguk.

            “Pakai sarung tangan jika ingin keluar rumah, diluar sekarang lebih dingin daripada tadi Nara”, kata Donghae memperingatkanku saat aku bersiap-siap untuk berangkat, “Tapi aku tidak mempunyai sarung tangan Hae-ya­”, kataku dengan wajah memelas.

            Donghae menunjukkan ekspresi seperti tokoh kartun Jepang yang sedang frustasi, aku tertawa melihatnya kemudian dia menghampiriku, “Pakai punyaku”, katanya sambil menyerahkan sarung tangan miliknya, “Lalu kau pakai apa?”, tanyaku.

            “Aku akan memakai kadomu”, jawabnya sambil mengeluarkan sarung tangan yang kubuatkan untuknya dan memakainya, “Oh iya aku lupa”, kataku sambil mengambil miliknya yang ia serahkan padaku tadi.

            “Dasar pikun”, ejeknya.

            Aku menoyor kepalanya, “Enak saja mengatakan aku pikun”, kataku tak terima ejekkannya, “Ya! Umurmu ini 8 tahun dibawahku, seenaknya saja kau memegang kepalaku”, kata Donghae tak terima kepalanya menjadi umpan empuk, aku hanya tersenyum lebar.

            Setelah berpamitan dengan kedua orangtuaku, kami berjalan menjauhi rumahku.

            “Kau menyukai kadoku?”, tanyaku, dia mengangguk, “Sangat menyukainya”.

            “Kalau kau?”, tanya Donghae.

            Aku diam tak tahu harus menjawab apa, dia meraih tanganku dan menggenggam tanganku erat. “Semua orang berbahagia hari ini”, kataku tanpa menjawab pertanyannya, “O”, jawabnya sambil tersenyum.

            “Kau mengajakku kemana Hae-ya”, tanyaku membuka topik pembicaraan, “Kau akan tahu nanti”, jawabnya, aku ingin bertanya lagi namun pandanganku bertumpu pada seseorang yang sedang berjalan sendirian tak jauh dari kami. Aku menghentikan langkahku karena terkejut melihat sosok namja itu sekarang.

            Donghae ikut menghentikan langkahnya dan mencoba mengikuti pandanganku. “Donghae-shi!”, teriak Siwon saat ia melihat kami berdua, aku bingung, darimana Siwon mengenal Donghae. “Nara?”, sapa Siwon padaku. Aku hanya tersenyum, pandangan Siwon tertuju pada tangan kami yang saling berpegangan, “Kalian sedang berkencan?”, tanya Siwon.

            Aku melihat Donghae menatapku dengan tatapan aku-berharap-kau-menjawab-iya. “Ah, kami hanya sedang berjalan-jalan di waktu natal”, kataku tanpa memerdulikan tatapan Donghae. “Benarkah?”, tanya Siwon sambil memandang Donghae, “Ne Siwon-shi”, jawab Donghae yang terkesan terpaksa.

            “Oppa, kenapa berjalan sendirian?”, tanyaku.

            Siwon tersenyum, “Istriku sedang tugas keluar kota sehingga aku harus merayakan natal sendirian”, jawabnya. Donghae memandang kami berdua, “Aku akan tinggalkan kalian berdua, Nara jika urusanmu sudah selesai hubungi aku ya”, pamit Donghae kemudian ia pergi dan menghilang di tengah kerumunan orang banyak.

            “Aku pikir kau sedang berkencan dengan Donghae”, kata Siwon membuka pembicaraan, aku hanya tersenyum tanpa menjawab pernyataannya. “Bagaimana kabar Oppa?”, tanyaku.

            “Aku baik, kau sendiri?”.

            “Aku juga baik Oppa. Oh iya, selamat natal maaf aku tak sempat membelikanmu kado natal”, kataku berbasa-basi, Siwon menggeleng “Selamat natal juga Nara, Gwechana Nara, aku memaklumi”, kata Siwon tulus.

            Kami berjalan mengikuti arah kaki kami dengan diam, “Aku kadang masih sedkit memikirkanmu”, kata Siwon tiba-tiba. Aku tersentak mendengar ucapannya, “Oppa”.

            Siwon menghentikan langkahnya dan berpindah kehadapanku, “Apa kadang kau juga masih memikirkanku?”, tanyanya. Aku memandang matanya, masih kutemukan cinta yang tulus untukku, aku menggeleng, “Aku sudah melupakan cinta kita Oppa”, jawabku.

            Dia menunduk seperti tak terima jawabanku, “Apa karena Donghae?”, tanyanya memandangku lagi. Aku terdiam, bukan karena aku tak ingin menjawab namun aku tak tahu pasti apa aku benar-benar mencintai pria itu.

            “Katakan saja Nara”, katanya lagi. Aku menghela nafas, “Aku melupakanmu bukan karena Donghae atau siapapun Oppa tapi karena aku benar-benar sudah melupakanmu”, kataku.

            Siwon menyentuh kedua pipiku dengan tangannya, “Benarkah yang kau katakan itu Nara?”, tanyanya, aku mengangguk. Kulihat tatapan matanya berubah sendu, “Mianhe Oppa”, sesalku. Dia mengangguk, “Mungkin aku juga harus melupakanmu kali ini”, katanya.

            “Aku tak pernah tahu mengapa aku sangat mencintaimu, Nara”, katanya lagi. Aku masih terdiam mendengar ucapannya, “Ijinkan untuk terakhir kali aku menciummu”, pintanya. Aku menatapnya kemudian mengangguk.

            Dia mencium keningku, aneh, aku tak merasakan jantungku berdegup seperti saat dulu ia mengecup keningku, apa aku benar-benar sudah tidak mencintainya?. Batinku.

            “Jaga diri baik-baik Nara”, katanya sebelum pergi, aku mengangguk dan tersenyum.

            “Hati-hati dijalan Oppa!”, teriakku dia hanya melambai dan berjalan semakin menjauh.

            Sepeninggalnya Siwon, aku menghubungi Donghae, “Kau ada dimana?”, tanyaku saat ia mengangkat teleponnya, “Dibelakangmu”, jawabnya. Aku menoleh, benar saja Donghae si ikan bodoh itu berada di belakangku.

            Aku menutup teleponku begitu juga dia, “Kau kenapa?”, tanyaku saat melihat raut wajahnya yang sedih. Dia menggandeng tanganku lagi, jantungku berdegup lagi saat jari tanganku menyatu dengan jari tangannya.

            Kami berhenti disebuah taman kanak-kanak yang sudah tidak terawat, aku perkirakan sudah dua atau tiga tahun sekolah ini tidak dipakai lagi, Donghae membuka pagarnya, “Hae”, panggilku mencoba mencegahnya, gedung ini sudah tua namun Donghae tidak bisa seenaknya membuka dan memasuki tempat ini.

            Ia tidak menggubris panggilanku, sampai detik berikutnya kami sudah berada dihalaman sekolah ini. Aku menghampiri sepasang ayunan yang masih terpasang disana, “Apa ini masih kuat untuk aku duduki?”, tanyaku sambil memegang rantainya yang mulai berkarat.

            “Duduki saja, kau nanti akan tahu sendiri”, jawab Donghae yang sudah duduk duluan di ayunan sebelahnya, aku mengikuti sarannya. Ku goyang-goyangkan sedikit ayunan itu, “Kenapa kau membawaku kesini?”, tanyaku.

            “Ini sekolah taman kanak-kanakku dulu”, jawabnya singkat.

            “Lalu?”.

            “Disini dimana aku bertemu dengan Siwon”, jawabnya lagi. Aku terdiam.

            “Aku sudah menceritakan padamu kalau aku ini anak yatim piatu lalu aku berteman baik dengan Siwon di taman kanak-kanak ini sehingga aku diangkat menjadi anak oleh keluarganya. Kami saling berbagi satu sama lain layaknya saudara kandung. Sampai akhirnya….”, Donghae memotong kalimatnya.

            “Sampai akhirnya apa?”, tanyaku yang penasaran dengan ceritanya.

            “Sampai akhirnya Siwon bertemu denganmu saat itu dan tak sengaja aku juga pernah melihatmu dengan Siwon tengah berkencan. Entah apa namanya aku sering memikirkanmu, mengikuti kemanapun Siwon pergi hanya untuk melihatmu…”

            “…Aku pikir aku mulai menyukaimu namun saat mendengar kau berangkat ke Amsterdam aku berjuang meminta Appa angkatku untuk menerbangkanku kesana tanpa sepengetahuan Siwon. Sesampainya disana aku mencari tahu dimana keberadaanmu hanya untuk melihatmu dari jauh”, jelasnya.

            Aku menatapnya tanpa bisa mengatakan apa-apa, “Sampai akhirnya aku menemukanmu, mengikuti kemanapun kau pergi bahkan sampai kau di baptis aku menyaksikannya Nara”, kata Donghae yang sekarang sudah berlutut dihadapanku.

            “Aku tak berani mendekatimu Nara, baru sampai di Korea aku berani bertanya siapa namamu secara langsung”, katanya lagi.

            Aku menelan ludahku, “Aku mencintaimu”, katanya.

            Kutatap dua bola matanya yang memandangku lekat, “Aku tak berani bertanya apa kau juga mencintaiku saat ini Nara, bahkan pertanyaanku tentang kadoku tadi tidak kau jawab”, katanya, aku meraba leherku dan mengeluarkan kalung yang ia berikan padaku tadi.

            Ia terkejut melihatnya, “Aku menyukainya Hae”, kataku.

            “Tapi itu bukan berarti kau mencintaiku kan?”, tanyanya ragu, aku memegang wajahnya, “Aku tidak tahu pasti Hae, tapi setiap kau menggenggam tanganku dan saat kau menciumku kemarin aku merasakan degupan jantungku lebih cepat dari biasanya..”.

            “..Bahkan ketika Siwon mengecup keningku tadi aku tak merasakan hal yang sama ketika bersama dirimu”, jawabku. Dia tersenyum sumringah, “Itu tandanya kau mencintaiku”, katanya spontan kemudian ia mengecup bibirku.

            “Kau ini berani sekali menciumku”, kataku.

            Dia tersenyum lebar, “Biarkan saja, sekarangkan aku kekasihmu”.

            Aku membelalakkan mataku, “Percaya diri sekali, kau bahkan belum memberikan pertanyaan apa aku mau menjadi kekasihmu”, kataku.

            “Tidak perlu kutanyakan lagi, kau pasti menginginkan menjadi kekasihku”, katanya. Aku memukulnya, “Kau tahu Nara? Natal tahun ini benar-benar indah”, katanya sebelum mencium bibirku.

THE END

0 komentar on "White Christmas (Sequel In My Dream Youre Mine. In Reality Youre My Dream) Part 2"

Posting Komentar

Kamis, 02 Februari 2012

White Christmas (Sequel In My Dream Youre Mine. In Reality Youre My Dream) Part 2

Karya : Altha Swita Abrianto di 7:44 PM
Poster by : Karra @ Fanfictionloverz.wordpress.com

BUK!

Sebongkah bola salju kecil tepat mengenai bahu kananku. Donghae sialan, bukannya meminta maaf dia malah menertawakanku “Awas kau ikan brengsek!” umpatku, aku membungkuk mencoba memungut salju namun tanpa sepengetahuanku Donghae melemparkan sebongkah lagi dan tepat mengenai punggungku.

            “DONGHAE! Kemari kau, dasar ikan bodoh!” teriakku sambil mendekatinya, bukannya ketakukan Donghae malah berlari sambil tertawa dan memungut salju. Aku melemparkan milikku “Kau melempar siapa Nara? Aku ada disini?” ejeknya melihat seranganku tak mengenainya.

            Aku memungut amunisiku kembali, melihatku lengah dia melempar salju lagi dan mengenai kepalaku “DONGHAE! Kau curang!” teriakku.

            “Pabboya” katanya meledek sambil tertawa melihatku tiga kali kena amunisinya tanpa ada serangan balik. Melihatnya tertawa dan lengah, aku melempar salju dan.


            BUK!

            Wajahnya yang bersih itu tertutupi salju “Nara! Saljumu masuk ke mataku” katanya sambil membersihkan salju di wajahnya. Aku tertawa senang, sambil mendekatinya aku melempar lagi badan tegapnya dengan salju-salju “Ya! Kenapa kau melempariku seperti itu?” tanya Donghae yang siap-siap melempariku dengan salju lagi.

            “Sudah Donghae, aku lelah” kataku meminta waktu istirahat namun ia seperti tak mendengarkanku, ia masih saja melempariku yang sedang bersandar disebuah pohon.

            “Ayolah Nara, tidak enak bermain sendirian seperti ini” kata Donghae, aku menggeleng “Aku lelah, lagipula tanganku sudah kedinginan” kataku sambil menunjukkan tanganku yang tidak memakai sarung tangan dan mulai membiru.

            “Astaga, kenapa kau tidak memakai sarung tangan Nara?” tanyanya terkejut sambil menghampiriku dan mengusap-usap tanganku “Aku memang tidak suka memakai sarung tangan” jawabku seraya menatap tanganku yang sedang diusap Donghae, jarakku yang tidak ada semeter dengannya membuatku melihat ketampanan Donghae lebih jelas.

            Dia membuka sarung tangannya yang sebelah kiri lalu memasangkannya pada tangan kiriku sedangkan tangan kananku dimasukkan kedalam saku jaketnya. “Sudah merasa hangat?” tanyanya manis, aku mengangguk. Entah kenapa melihatnya khawatir seperti itu jantungku berdegup lebih cepat.

            Suasana hening sementara.

            “Kencannya hanya seperti ini saja?” tanyaku memulai pembicaraan.

            Donghae menoleh kearahku lalu melihat jam di ponselnya, “Masih terlalu pagi untuk pergi ke taman bermain, tunggu satu jam lagi ya” katanya. Aku mengangguk lalu suasana menjadi hening kembali.

            “Aku mau minum coklat hangat Donghae” kataku merasa udara makin dingin “Baiklah, ayo kita beli” ajaknya sambil menggenggam tangan kananku. Aku menunduk, menatap tanganku dan tangannya yang bertautan dan entah mengapa aku tak ingin melepaskannya, bukan karena dingin tapi sesuatu dihatiku yang melarang aku melepaskan genggaman itu.

            “Ini” katanya sambil menyerahkan segelas cokelat panas, aku menerimanya lalu menempelkannya pada wajahku yang kedinginan “Hahaha kau benar-benar kedinginan ya?” tanyanya sambil tertawa, aku mengangguk sambil menghirup cokelat panasku perlahan “Kau mengajak kencan terlalu pagi Donghae”.

            Donghae menahan senyumnya, “Aku hanya ingin seharian berkencan denganmu, tidak boleh?” tanyanya, aku memanyunkan bibirku “Tapi tidak sepagi ini kan?” ujarku sedikit kesal.

            “Sudahlah, kita sudah setengah jalan kan?”.

             Aku hanya diam tak menjawab pertanyaannya.

          Setelah minum cokelat panas, kami berjalan menuju taman hiburan yang baru saja beberapa menit dibuka. “Tidak terlalu ramai kan Nara? Kita bisa menjadi pengunjung pertama yang naik gondola itu” kata Donghae yang menunjuk gondola besar, aku hanya menuruti langkahnya yang mulai masuk ke wahana tersebut.

            “Aku boleh jujur padamu?” tanyaku saat gondola mulai berputar walau kami satu-satunya pengunjung. “Apa?” tanyanya tanpa menoleh kearahku.

            “Aku takut ketinggian” jawabku lemah.

           Donghae spontan menoleh kearahku “Kenapa kau tidak mengatakannya daritadi?” tanyanya panik, aku masih diam. Lalu dia melihat jam tangannya lagi “Ah! Bagaimana ini, gondola ini berputar selama 15 menit” gerutunya panik.

            Aku tak mampu menahan senyumanku lagi “Kenapa kau tersenyum seperti itu?” tanyanya, bukannya menjawab aku malah melepaskan tawaku.

            “Namja pabboya, mau saja kau ditipu olehku” kataku sambil terus tertawa. Donghae menggeleng kepala tanpa mengeluarkan ekspresi apapun kemudian dia menoleh keluar gondola. Melihatnya seperti itu aku menghentikan tawaku lalu pindah kehadapannya “Kau kenapa?” tanyaku.

            “Aniya, aku baik-baik saja” jawabnya ketus.

            Aku diam mendengar jawabannya.

       “Kau marah?” tanyaku hati-hati. Dia menatapku “Kelihatannya?” dia malah balik bertanya, aku menunduk “Mianhe aku hanya bercanda” sesalku.

            Mendadak gondola berhenti berputar tepat saat kami berada di puncak. Aku menatap Donghae yang sudah menatapku duluan “Kau tidak menyuruh petugas supaya berhenti dipuncak kan?” tanyaku menyelidiki “Kau pikir aku selicik itu” jawab Donghae sengit.

            Tiba-tiba terdengar pemberitahuan dari petugas kalau gondola yang kami naiki sedang mengalami kemacetan mesin dan mereka mencoba memperbaiki secepatnya.

            Aku menatap Donghae dengan tatapan memelas “Kenapa kau memandangiku seperti itu?” tanya Donghae, dia sepertinya masih marah karena gurauanku tadi. Dasar namja manja!. Aku merengkuh diriku sendiri, diatas sini semakin dingin apalagi perlahan salju mulai turun dengan perlahan.

            Kulihat Donghae juga melakukan hal yang sama seperti diriku, lalu aku membuka sarung tangan miliknya dan menyerahkan padanya “Pakailah, ini milikmu” kataku, dia menggeleng lalu memundurkan tanganku “Kau saja yang pakai” katanya.

            Aku memakai sarung tangannya lagi lalu menggosok-gosokkan tanganku supaya hangat. Dia memandangiku, “Kenapa?” tanyaku yang sedikit risih dipandangi olehnya. Dia hanya menggeleng lalu menggenggam tanganku “Dingin?” tanyanya.

            “Bodoh! Jelas saja” kataku.

          Dia tersenyum sambil tetap menggenggam tanganku. “Kencan kita aneh ya?” tanya Donghae tersenyum, aku mengerutkan kening tak mengerti.

            “Iya, harusnya kita bersenang-senang tapi malah terjebak di gondola” jawabnya menjawab keherananku. Aku tertawa mendengar jawabannya “Memang seharusnya kita tidak menaiki ini” ujarku masih tertawa.

            Donghae hanya tersenyum, “Kau tahu kenapa aku marah padamu karena kau membohongiku kalau kau takut ketinggian?” tanyanya. Aku menggeleng. “Aku hanya tak mau kau merasa takut saat bersamaku, aku mohon padamu Nara mulai saat ini tolong bilang padaku kalau kau tidak mau melakukan hal yang tidak kau suka saat bersamaku”  jawabnya.

            Aku mengangguk. Mulutku seakan terkunci untuk membalas kalimat manis yang keluar dari mulutnya, seorang Donghae mengkhawatirkanku. Sepertinya saat ini aku ingin berteriak kegirangan.

            Tiba-tiba dia membelai wajahku, “Wajahmu dingin sekali” ujarnya namun aku tak memberi respon apa-apa.

            Semakin lama aku merasa jarak antara diriku dan Donghae makin dekat, degup jantungku makin kencang berdetak dan aku tak tahu harus melakukan apa disaat seperti ini. Saat wajah Donghae tinggal beberapa senti dari wajahku, gondola bergerak mendadak membuatku dan Donghae terkejut.

            Donghae membetulkan tempat duduknya dan menatapku canggung. “Mian, aku hanya ingin membetulkan rambutmu tadi” kata Donghae beralasan, aku hanya tersenyum lalu merapikan rambutku.

**

Aku memandangi pohon natal besar di pusat kota Seoul bersama Donghae, malam semakin larut dan aku tak menyangka sudah seharian ini aku berkencan dengan ikan nemo ini. Aku melihat Donghae yang sedang menikmati kembang api yang menghiasi langit malam Korea Selatan.

            “Malam natal tahun ini sangat indah untukku, bagaimana denganmu?” tanya Donghae yang kemudian memalingkan wajahnya padaku yang sedang menikmati wajahnya, ia terkejut.

            “Kau? Memandangiku?” tanyanya tak percaya.

            Aku menggeleng kuat, “Aniya, aku hanya ingin membersihkan rambutmu dari salju” elakku sambil membersihkan rambutnya. “Oh iya, tadi kau bertanya apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

            “Kau bahagia malam ini?”

            Aku mengedarkan pandanganku, “Tentu saja aku bahagia, ini natal pertamaku” jawabku sedikit pilu, Donghae tak memberi respon. Dia hanya menatapku penuh arti, “Kalau kau? Kenapa merasa bahagia?” tanyaku merubah suasana kembali ceria. Dia menghempaskan nafasnya, “Baru tahun ini aku merayakan dengan orang yang aku sayangi” jawabnya langsung.

            “Maksudmu?” tanyaku.

            Ia tersenyum “Aku ini anak yatim piatu, sejak lahir tak ada yang mau mengakuiku sebagai anaknya bahkan mungkin aku ini hasil hubungan gelap orangtuaku yang tak menginginkan keberadaanku” ceritanya.

            Aku terkejut mendengar cerita Donghae, ia tidak seperti anak panti asuhan yang merasa sendiri, ia pria periang nan menyebalkan dimataku. “Tapi…” kataku, ia menoleh kearahku “… Aku rasa kalau mereka melihat keadaanmu sekarang sepertinya mereka akan menyesal tidak mengakuimu sebagai anak mereka” hiburku.

            “Kenapa?”

            “Karena putra mereka yang tak mereka akui ini mempunyai senyum manis dan wajah yang tampan” jawabku. Dia tersenyum, sepertinya senang mendengar pujianku. Genggaman tangannya makin kencang, wajahnya semakin mendekat. Kilatan cahaya yang diciptakan kembang api tak mampu untukku melihat apa yang dilakukan Donghae, yang aku rasakan saat ini hanyalah. Lembab dan manis dibibirku.

**

Saat aku membuka mataku, aku begitu bersemangat karena ini hari Natal dan semua orang bersenang-senang pada hari ini. “Cepat bersiap-siap, sebentar lagi aku sampai dirumahmu”, kata Donghae di ujung telepon, “Baiklah, kau hati-hati dijalan”, kataku kemudian ia menutup teleponnya.

            “Nara”, sapa ibuku dari luar kamar, “Ne Oemma”, sahutku yang sedang berdandan dicermin.

            “Selamat Natal ya”, katanya.

            Aku menghentikan kegiatanku lalu menghampirinya, “Gomawo oemma, saranghaeyo”, kataku lalu mengecup pipi kanannya, ia tersenyum. “Pergi kencan lagi bersama Donghae?”, tanya Oemma yang tersenyum jahil, kulihat dia sepertinya menyukai Donghae yang ceria dan ramah, “Bukan kencan Oemma, hanya pergi beribadah”, kataku, Oemma mengangguk tapi tetap menunjukkan senyum jahil.

            Baru saja aku ingin mencubit pinggang Oemma, pintu rumahku sudah diketuk seseorang, “Pasti kekasihmu”, tebak Oemma dan membuat wajahku memanas, “Dia belum menjadi kekasihku Oemma, aku pergi sekarang ya”, pamitku padanya dan berjalan menuju pintu, “Nara, belum menjadi kekasih? Berarti sebentar lagi dia akan menjadi kekasihmu kan?”, tanya Oemma, aku terdiam kemudian tertawa, “Oemma, sudahlah”, kataku, dia hanya tertawa.

            “Lama sekali buka pintunya”, kata Donghae saat aku membuka pintu, aku menjitak kepalanya, “Harusnya kau ucapkan selamat natal padaku bukannya malah mengomeliku”, kataku kesal, dia hanya meringis sambil mengusap kepalanya yang kujitak.

            “Donghae-ya, Selamat natal”, kata Oemma yang sudah berada di belakangku. Donghae tersenyum manis, “Selamat natal juga Ahjumma”, jawabnya.

            “Kajja, kalian pergilah beribadah setelah itu cepat pulang, Oemma memasak banyak makanan hari ini”, kata wanita separuh baya itu.

            “Baiklah Ahjumma, Jaljayo”, kata Donghae sambil menggandeng tanganku keluar rumah.

**

“Donghae, aku ingin bertanya sesuatu padamu”, kataku saat kami keluar dari gereja setelah selesai beribadah, “Mwo?”, tanya Donghae.

            “Apa semalam kau menciumku?”, tanyaku berani. Sejak pulang dari kencan dan merasakan bibirku dikecup olehnya diotakku hanya ada nama Donghae dan senyumannya, Donghae menghentikan langkahnya lalu melihatku, “Menurutmu bagaimana?”, tanya.

            Aku mengangkat bahuku, aku yang bertanya kenapa harus aku juga yang menjawabnya benar-benar namja bodoh, “Dan memangnya kenapa kalau aku benar-benar menciummu?”, tanya Donghae lagi, aku memalingkan wajahku yang kurasa mulai memerah, “Ya, kenapa kau palingkan wajahmu?”, tanyanya sambil berjalan kehadapanku.

            “Ah lupakan saja, anggap aku tak pernah menanyakan hal itu”, kataku sambil berjalan namun Donghae menahannya, “Katakanlah Nara”.

            Aku memejamkan mataku dan menghembuskan nafasku yang kutarik dalam-dalam, “Apa itu ciuman pertamamu?”, tebak Donghae, aku membelalakkan mataku, sial! Bagaimana ikan bodoh ini mengetahuinya.

            “Sudahlah Donghae-ya, aku tak ingin membahasnya”, kataku menutupi rasa maluku kemudian berjalan meninggalkannya.

            Donghae mengejarku dan mensejajarkan langkahnya dengan langkahku, “Ciuman semalam itu juga ciuman pertamaku”, katanya membuatku menghentikan langkahku. Aku menatapnya penuh curiga, takut-takut dia bohong agar aku tidak malu namun aku lihat dia tidak berbohong dengan kata-katanya.

            “Banyak yang tidak kau ketahui tentangku Nara, namun suatu saat aku pasti akan menceritakan semuanya padamu”, kata Donghae. Aku masih terdiam saat ia menggenggam tanganku sampai kerumah.

            “Ini kado natalmu”, kataku sambil menyerahkan kado untuk Donghae saat semua orang sudah berkumpul di ruang makan, “Ah gomawo Nara-ya”, kata Donghae sambil menerima kadoku. Aku mengambil dua kado lagi untuk Oemma dan Appa lalu memberikannya pada mereka berdua, “Kami juga mempunyai kado untukmu Nara”, kata Appa dengan wajah ceria, kemudian ia memberikan sebuah kado besar untukku.

            “Wah, kadomu komplit sekali Nara”, kata Donghae yang telah membuka kadoku, aku memberikannya sebuah syal, topi kupluk, sarung tangan dan sweater rajutan buatanku lengkap dengan namanya, “Kau harusnya mengucapkan terimakasih”, umpatku lagi saat melihatnya memakai semua kadoku, dia tersenyum “Gomapta Nara-ya­”, katanya.

            “Aku juga mempunyai kado untukmu”, kata Donghae lagi sambil menyerahkan sebuah kado berukuran kecil.

            Aku menerimanya lalu membuka kadonya. Sebuah kotak, lalu kubuka perlahan, kalung berbandul huruf D. Aku mengerutkan keningku, “Namaku kan Geum Nara, kenapa kau memberi inisial D?”, tanyaku masih tak mengerti.

            Donghae tertawa, “Kau ini sama bodohnya denganku, D itu inisial namaku, aku membelikannya agar kau selalu mengingat namaku”, jawabnya cuek sambil memakan beberapa kue. Aku menatap Oemma dan Appa yang sedang tertawa mendengar jawaban Donghae, “Dasar ikan bodoh”, kataku.

            “Kau harusnya mengucapkan terimakasih”, umpatnya mengikutiku.

            “Terimakasih Lee Donghae”, kataku terdengar terpaksa, Donghae, Oemma dan Appa hanya bisa tertawa mendengar jawabanku.

            “Ahjussi, apa setelah ini aku boleh mengajak anakmu yang tidak terlalu cantik ini berjalan-jalan?”, tanya Donghae memecah keheningan, aku mendelik, enak saja dia bilang aku tidak terlalu cantik.

            Appa menatapku kemudian menoleh ke Donghae, “Ah kau ini terlalu jujur Donghae-ya­”, jawab Appa, Donghae tersenyum sedangkan Oemma hanya bisa menahan senyumnya setelah mengetahui aku menatapnya dengan tatapan tidak enak.

            “Boleh tidak Ahjussi?”, tanya Donghae lagi, Appa hanya mengangguk.

            “Pakai sarung tangan jika ingin keluar rumah, diluar sekarang lebih dingin daripada tadi Nara”, kata Donghae memperingatkanku saat aku bersiap-siap untuk berangkat, “Tapi aku tidak mempunyai sarung tangan Hae-ya­”, kataku dengan wajah memelas.

            Donghae menunjukkan ekspresi seperti tokoh kartun Jepang yang sedang frustasi, aku tertawa melihatnya kemudian dia menghampiriku, “Pakai punyaku”, katanya sambil menyerahkan sarung tangan miliknya, “Lalu kau pakai apa?”, tanyaku.

            “Aku akan memakai kadomu”, jawabnya sambil mengeluarkan sarung tangan yang kubuatkan untuknya dan memakainya, “Oh iya aku lupa”, kataku sambil mengambil miliknya yang ia serahkan padaku tadi.

            “Dasar pikun”, ejeknya.

            Aku menoyor kepalanya, “Enak saja mengatakan aku pikun”, kataku tak terima ejekkannya, “Ya! Umurmu ini 8 tahun dibawahku, seenaknya saja kau memegang kepalaku”, kata Donghae tak terima kepalanya menjadi umpan empuk, aku hanya tersenyum lebar.

            Setelah berpamitan dengan kedua orangtuaku, kami berjalan menjauhi rumahku.

            “Kau menyukai kadoku?”, tanyaku, dia mengangguk, “Sangat menyukainya”.

            “Kalau kau?”, tanya Donghae.

            Aku diam tak tahu harus menjawab apa, dia meraih tanganku dan menggenggam tanganku erat. “Semua orang berbahagia hari ini”, kataku tanpa menjawab pertanyannya, “O”, jawabnya sambil tersenyum.

            “Kau mengajakku kemana Hae-ya”, tanyaku membuka topik pembicaraan, “Kau akan tahu nanti”, jawabnya, aku ingin bertanya lagi namun pandanganku bertumpu pada seseorang yang sedang berjalan sendirian tak jauh dari kami. Aku menghentikan langkahku karena terkejut melihat sosok namja itu sekarang.

            Donghae ikut menghentikan langkahnya dan mencoba mengikuti pandanganku. “Donghae-shi!”, teriak Siwon saat ia melihat kami berdua, aku bingung, darimana Siwon mengenal Donghae. “Nara?”, sapa Siwon padaku. Aku hanya tersenyum, pandangan Siwon tertuju pada tangan kami yang saling berpegangan, “Kalian sedang berkencan?”, tanya Siwon.

            Aku melihat Donghae menatapku dengan tatapan aku-berharap-kau-menjawab-iya. “Ah, kami hanya sedang berjalan-jalan di waktu natal”, kataku tanpa memerdulikan tatapan Donghae. “Benarkah?”, tanya Siwon sambil memandang Donghae, “Ne Siwon-shi”, jawab Donghae yang terkesan terpaksa.

            “Oppa, kenapa berjalan sendirian?”, tanyaku.

            Siwon tersenyum, “Istriku sedang tugas keluar kota sehingga aku harus merayakan natal sendirian”, jawabnya. Donghae memandang kami berdua, “Aku akan tinggalkan kalian berdua, Nara jika urusanmu sudah selesai hubungi aku ya”, pamit Donghae kemudian ia pergi dan menghilang di tengah kerumunan orang banyak.

            “Aku pikir kau sedang berkencan dengan Donghae”, kata Siwon membuka pembicaraan, aku hanya tersenyum tanpa menjawab pernyataannya. “Bagaimana kabar Oppa?”, tanyaku.

            “Aku baik, kau sendiri?”.

            “Aku juga baik Oppa. Oh iya, selamat natal maaf aku tak sempat membelikanmu kado natal”, kataku berbasa-basi, Siwon menggeleng “Selamat natal juga Nara, Gwechana Nara, aku memaklumi”, kata Siwon tulus.

            Kami berjalan mengikuti arah kaki kami dengan diam, “Aku kadang masih sedkit memikirkanmu”, kata Siwon tiba-tiba. Aku tersentak mendengar ucapannya, “Oppa”.

            Siwon menghentikan langkahnya dan berpindah kehadapanku, “Apa kadang kau juga masih memikirkanku?”, tanyanya. Aku memandang matanya, masih kutemukan cinta yang tulus untukku, aku menggeleng, “Aku sudah melupakan cinta kita Oppa”, jawabku.

            Dia menunduk seperti tak terima jawabanku, “Apa karena Donghae?”, tanyanya memandangku lagi. Aku terdiam, bukan karena aku tak ingin menjawab namun aku tak tahu pasti apa aku benar-benar mencintai pria itu.

            “Katakan saja Nara”, katanya lagi. Aku menghela nafas, “Aku melupakanmu bukan karena Donghae atau siapapun Oppa tapi karena aku benar-benar sudah melupakanmu”, kataku.

            Siwon menyentuh kedua pipiku dengan tangannya, “Benarkah yang kau katakan itu Nara?”, tanyanya, aku mengangguk. Kulihat tatapan matanya berubah sendu, “Mianhe Oppa”, sesalku. Dia mengangguk, “Mungkin aku juga harus melupakanmu kali ini”, katanya.

            “Aku tak pernah tahu mengapa aku sangat mencintaimu, Nara”, katanya lagi. Aku masih terdiam mendengar ucapannya, “Ijinkan untuk terakhir kali aku menciummu”, pintanya. Aku menatapnya kemudian mengangguk.

            Dia mencium keningku, aneh, aku tak merasakan jantungku berdegup seperti saat dulu ia mengecup keningku, apa aku benar-benar sudah tidak mencintainya?. Batinku.

            “Jaga diri baik-baik Nara”, katanya sebelum pergi, aku mengangguk dan tersenyum.

            “Hati-hati dijalan Oppa!”, teriakku dia hanya melambai dan berjalan semakin menjauh.

            Sepeninggalnya Siwon, aku menghubungi Donghae, “Kau ada dimana?”, tanyaku saat ia mengangkat teleponnya, “Dibelakangmu”, jawabnya. Aku menoleh, benar saja Donghae si ikan bodoh itu berada di belakangku.

            Aku menutup teleponku begitu juga dia, “Kau kenapa?”, tanyaku saat melihat raut wajahnya yang sedih. Dia menggandeng tanganku lagi, jantungku berdegup lagi saat jari tanganku menyatu dengan jari tangannya.

            Kami berhenti disebuah taman kanak-kanak yang sudah tidak terawat, aku perkirakan sudah dua atau tiga tahun sekolah ini tidak dipakai lagi, Donghae membuka pagarnya, “Hae”, panggilku mencoba mencegahnya, gedung ini sudah tua namun Donghae tidak bisa seenaknya membuka dan memasuki tempat ini.

            Ia tidak menggubris panggilanku, sampai detik berikutnya kami sudah berada dihalaman sekolah ini. Aku menghampiri sepasang ayunan yang masih terpasang disana, “Apa ini masih kuat untuk aku duduki?”, tanyaku sambil memegang rantainya yang mulai berkarat.

            “Duduki saja, kau nanti akan tahu sendiri”, jawab Donghae yang sudah duduk duluan di ayunan sebelahnya, aku mengikuti sarannya. Ku goyang-goyangkan sedikit ayunan itu, “Kenapa kau membawaku kesini?”, tanyaku.

            “Ini sekolah taman kanak-kanakku dulu”, jawabnya singkat.

            “Lalu?”.

            “Disini dimana aku bertemu dengan Siwon”, jawabnya lagi. Aku terdiam.

            “Aku sudah menceritakan padamu kalau aku ini anak yatim piatu lalu aku berteman baik dengan Siwon di taman kanak-kanak ini sehingga aku diangkat menjadi anak oleh keluarganya. Kami saling berbagi satu sama lain layaknya saudara kandung. Sampai akhirnya….”, Donghae memotong kalimatnya.

            “Sampai akhirnya apa?”, tanyaku yang penasaran dengan ceritanya.

            “Sampai akhirnya Siwon bertemu denganmu saat itu dan tak sengaja aku juga pernah melihatmu dengan Siwon tengah berkencan. Entah apa namanya aku sering memikirkanmu, mengikuti kemanapun Siwon pergi hanya untuk melihatmu…”

            “…Aku pikir aku mulai menyukaimu namun saat mendengar kau berangkat ke Amsterdam aku berjuang meminta Appa angkatku untuk menerbangkanku kesana tanpa sepengetahuan Siwon. Sesampainya disana aku mencari tahu dimana keberadaanmu hanya untuk melihatmu dari jauh”, jelasnya.

            Aku menatapnya tanpa bisa mengatakan apa-apa, “Sampai akhirnya aku menemukanmu, mengikuti kemanapun kau pergi bahkan sampai kau di baptis aku menyaksikannya Nara”, kata Donghae yang sekarang sudah berlutut dihadapanku.

            “Aku tak berani mendekatimu Nara, baru sampai di Korea aku berani bertanya siapa namamu secara langsung”, katanya lagi.

            Aku menelan ludahku, “Aku mencintaimu”, katanya.

            Kutatap dua bola matanya yang memandangku lekat, “Aku tak berani bertanya apa kau juga mencintaiku saat ini Nara, bahkan pertanyaanku tentang kadoku tadi tidak kau jawab”, katanya, aku meraba leherku dan mengeluarkan kalung yang ia berikan padaku tadi.

            Ia terkejut melihatnya, “Aku menyukainya Hae”, kataku.

            “Tapi itu bukan berarti kau mencintaiku kan?”, tanyanya ragu, aku memegang wajahnya, “Aku tidak tahu pasti Hae, tapi setiap kau menggenggam tanganku dan saat kau menciumku kemarin aku merasakan degupan jantungku lebih cepat dari biasanya..”.

            “..Bahkan ketika Siwon mengecup keningku tadi aku tak merasakan hal yang sama ketika bersama dirimu”, jawabku. Dia tersenyum sumringah, “Itu tandanya kau mencintaiku”, katanya spontan kemudian ia mengecup bibirku.

            “Kau ini berani sekali menciumku”, kataku.

            Dia tersenyum lebar, “Biarkan saja, sekarangkan aku kekasihmu”.

            Aku membelalakkan mataku, “Percaya diri sekali, kau bahkan belum memberikan pertanyaan apa aku mau menjadi kekasihmu”, kataku.

            “Tidak perlu kutanyakan lagi, kau pasti menginginkan menjadi kekasihku”, katanya. Aku memukulnya, “Kau tahu Nara? Natal tahun ini benar-benar indah”, katanya sebelum mencium bibirku.

THE END

0 komentar:

Posting Komentar

Copy Paste hukumannya di penjara 5 tahun lho :). Diberdayakan oleh Blogger.
 

A L T R I S E S I L V E R Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting