Selasa, 29 Maret 2011

Pak Basir. Seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab

Diposting oleh Altha Swita Abrianto di 8:48 PM
Namaku Imran, mahasiswa jurnalistik di salah satu Universitas Negeri di Indonesia. Bekerja sebagai wartawan dan penulis lepas sebuah koran daerah. Aku dilahirkan disudut kota Jogjakarta dari sebuah keluarga yang sederhana bahkan bisa di bilang pas-pasan dalam segala hal, Aku mempunya 3 orang adik yang masih sekolah. Ayahku yang seorang pensiunan dan ibuku yang berdagang warung di depan rumah tidak mencukupi kebutuhan keluarga sehingga aku memutuskan untuk bekerja dan menafkahi diri sendiri.

Disinilah aku sekarang, duduk di pinggiran kota Jakarta hanya untuk mencari sebuah berita yang pantas aku berikan untuk atasanku. Bukan berita besar namun berita yang menarik bagi pembaca, lama aku termenung, menatap langit-langit yang mulai keemasan. Hari makin sore namun aku belum dapat 1 beritapun.
Saat sedang termenung dan memikirkan nasibku, aku menatap sekelabatan bayangan di ujung jalan.

Tak lama aku melihat seorang lelaki tua sedang menarik gerobak sampah yang isinya sudah kosong, di wajahnya terlihat wajah lelah dan peluh keringat saat menariknya. Pelan tapi pasti, dengan sisa-sisa tenaganya ia menarik gerobaknya dan melewatiku.
Tidak terlalu jelas namun aku bisa melihatnya, ada senyum ikhlas di wajah bapak itu.
Saat dia mulai jauh entah apa yang membuatku berlari menuju ke arahnya dan memperkenalkan diriku.

***

Namanya Pak Basir, seorang suami dan ayah bagi 5 anaknya. Bekerja sebagai tukang sampah yang penghasilannya tidak bisa dibilang cukup, istrinya seorang pedangang sayuran keliling.
Dulu sekali sebelum menjadi tukang sampah, Pak Basir adalah seorang buruh pabrik yang penghasilannya cukup namun sayang pabrik tempatnya bekerja gulung tikar dan memecat semua pegawainya termasuk Pak Basir.

Hampir beberapa bulan mereka luntang-lantung mencari sesuap nasi, Pak Basir sibuk keluar rumah dan mencari pekerjaan. Namun jaman sekarang mana ada kantor menerima pegawai baru yang cuma lulusan SMA?
Pada masa sulit itu, anak-anak Pak Basir sering sekali menangis kelaparan di dalam kontrakkan. Tetannga yang tidak tega memberi makanan seadanya untuk mereka.

Tak lama, mereka diusir dari kontrakan karena tidak mampu membayar uang sewanya. Akhirnya dengan sangat terpaksa mereka pergi dan mencari tempat tinggal baru.
Dan disinilah sekarang mereka tinggal, di daerah pemukiman kumuh dengan keadaan rumah yang sangat memprihatinkan.
Dindingnya hanya tersusun dari triplek-triplek bekas dan hanya ada 1 ruangan di dalamnya, sungguh sangat kecil untuk sebuah keluarga yang besar seperti Pak Basir.

Saat malam datang, tak ada yang bisa menghangatkan badan mereka yang terkena hawa dingin tak ada pula lampu yang menerangi mereka.
Kekurangan itulah yang membuat hati ini miris.

Anak Pak Basir yang paling sulung berhenti sekolah dan bekerja di pasar sebagai tukang semir sepatu untuk menambah biaya hidup. Pak Basir tidak tega melihat anaknya bekerja namun kondisinya sekarang tidak bisa dipaksakan.
Sempat Pak Basir senang dengan adanya program sekolah gratis bagi keluarga yang kurang mampu namun ternyata pengurusannya susah dan seakan sengaja di buat susah.
Dan akhirnya Pak Basir menyerah dan pasrah dengan jalan yang telah ditakdirkan.

Aku merekam semua cerita Pak Basir melalui alat perekamku sambil menahan haru yang tercipta di rumahnya yang mulai gelap.
Setelah itu aku pamit untuk pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Aku pulang dengan rasa berkecamuk. Antara sedih, marah, dan merasa tidak adil. Ternyata bukan cuma aku yang merasa kekurangan, masih banyak oranglain disana yang jauh lebih layak mendapatkan uluran tangan pemerintah.

Sesampainya dirumah, aku taruh kamera dan tasku di atas kasur. Aku nyalakan komputerku dan mulai menulis apa yang di aku dapatkan hari ini.

***

Editor menyipitkan matanya saat membaca artikel yang aku buat semalam suntuk. Ia sangat berat untuk menerbitkannya di koran, terlalu menyindir pemerintah katanya. Aku memaksanya untuk menerbitkannya, apa salahnya menerbitkan sebuah artikel yang menyindir. Bukannya itu tugas wartawan? Pikirku.
Akhirnya setelah paksaan dan perbincangan yang cukup alot, dia mau menerbitkan artikelku asal aku mau mempertanggung jawabkannya.

Artikel itu dimuat di tempat biasa, tempat kecil dengan judul "Taukah Pemerintah tentang kehidupan Rakyatnya?"
Setelah koran tersebut terbit, banyak email yang masuk ke redaksi menyampaikan kekaguman akan tulisanku. Mereka merasa terwakili dengan cerita Pak Basir yang aku kaitkan dengan isi artikelnya. Namun ada juga yang sangat keberatan dengan isinya, mereka bahkan menuduh bahwa tokoh Pak Basir itu hanya fiktif dan karanganku saja.
Namun aku cuek saja, selama mereka masih menanggapinya dalam hal wajar.

Setelah kejadian itu aku sering menemui Pak Basir dan keluarganya, hanya untuk sekedar bercerita dan berbagi pengalaman hidup.
Bagiku, keluarga Pak Basir adalah keluarga kedua dalam hidupku setelah keluargaku sendiri.


Dibuat saat mengerjakan soal TO Bhs. Inggris di Sekolah tercinta SMK Jayawisata 2 Jaktim (masih tetap menuntut keadilan Pemerintah)

0 komentar on "Pak Basir. Seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab"

Posting Komentar

Selasa, 29 Maret 2011

Pak Basir. Seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab

Karya : Altha Swita Abrianto di 8:48 PM
Namaku Imran, mahasiswa jurnalistik di salah satu Universitas Negeri di Indonesia. Bekerja sebagai wartawan dan penulis lepas sebuah koran daerah. Aku dilahirkan disudut kota Jogjakarta dari sebuah keluarga yang sederhana bahkan bisa di bilang pas-pasan dalam segala hal, Aku mempunya 3 orang adik yang masih sekolah. Ayahku yang seorang pensiunan dan ibuku yang berdagang warung di depan rumah tidak mencukupi kebutuhan keluarga sehingga aku memutuskan untuk bekerja dan menafkahi diri sendiri.

Disinilah aku sekarang, duduk di pinggiran kota Jakarta hanya untuk mencari sebuah berita yang pantas aku berikan untuk atasanku. Bukan berita besar namun berita yang menarik bagi pembaca, lama aku termenung, menatap langit-langit yang mulai keemasan. Hari makin sore namun aku belum dapat 1 beritapun.
Saat sedang termenung dan memikirkan nasibku, aku menatap sekelabatan bayangan di ujung jalan.

Tak lama aku melihat seorang lelaki tua sedang menarik gerobak sampah yang isinya sudah kosong, di wajahnya terlihat wajah lelah dan peluh keringat saat menariknya. Pelan tapi pasti, dengan sisa-sisa tenaganya ia menarik gerobaknya dan melewatiku.
Tidak terlalu jelas namun aku bisa melihatnya, ada senyum ikhlas di wajah bapak itu.
Saat dia mulai jauh entah apa yang membuatku berlari menuju ke arahnya dan memperkenalkan diriku.

***

Namanya Pak Basir, seorang suami dan ayah bagi 5 anaknya. Bekerja sebagai tukang sampah yang penghasilannya tidak bisa dibilang cukup, istrinya seorang pedangang sayuran keliling.
Dulu sekali sebelum menjadi tukang sampah, Pak Basir adalah seorang buruh pabrik yang penghasilannya cukup namun sayang pabrik tempatnya bekerja gulung tikar dan memecat semua pegawainya termasuk Pak Basir.

Hampir beberapa bulan mereka luntang-lantung mencari sesuap nasi, Pak Basir sibuk keluar rumah dan mencari pekerjaan. Namun jaman sekarang mana ada kantor menerima pegawai baru yang cuma lulusan SMA?
Pada masa sulit itu, anak-anak Pak Basir sering sekali menangis kelaparan di dalam kontrakkan. Tetannga yang tidak tega memberi makanan seadanya untuk mereka.

Tak lama, mereka diusir dari kontrakan karena tidak mampu membayar uang sewanya. Akhirnya dengan sangat terpaksa mereka pergi dan mencari tempat tinggal baru.
Dan disinilah sekarang mereka tinggal, di daerah pemukiman kumuh dengan keadaan rumah yang sangat memprihatinkan.
Dindingnya hanya tersusun dari triplek-triplek bekas dan hanya ada 1 ruangan di dalamnya, sungguh sangat kecil untuk sebuah keluarga yang besar seperti Pak Basir.

Saat malam datang, tak ada yang bisa menghangatkan badan mereka yang terkena hawa dingin tak ada pula lampu yang menerangi mereka.
Kekurangan itulah yang membuat hati ini miris.

Anak Pak Basir yang paling sulung berhenti sekolah dan bekerja di pasar sebagai tukang semir sepatu untuk menambah biaya hidup. Pak Basir tidak tega melihat anaknya bekerja namun kondisinya sekarang tidak bisa dipaksakan.
Sempat Pak Basir senang dengan adanya program sekolah gratis bagi keluarga yang kurang mampu namun ternyata pengurusannya susah dan seakan sengaja di buat susah.
Dan akhirnya Pak Basir menyerah dan pasrah dengan jalan yang telah ditakdirkan.

Aku merekam semua cerita Pak Basir melalui alat perekamku sambil menahan haru yang tercipta di rumahnya yang mulai gelap.
Setelah itu aku pamit untuk pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Aku pulang dengan rasa berkecamuk. Antara sedih, marah, dan merasa tidak adil. Ternyata bukan cuma aku yang merasa kekurangan, masih banyak oranglain disana yang jauh lebih layak mendapatkan uluran tangan pemerintah.

Sesampainya dirumah, aku taruh kamera dan tasku di atas kasur. Aku nyalakan komputerku dan mulai menulis apa yang di aku dapatkan hari ini.

***

Editor menyipitkan matanya saat membaca artikel yang aku buat semalam suntuk. Ia sangat berat untuk menerbitkannya di koran, terlalu menyindir pemerintah katanya. Aku memaksanya untuk menerbitkannya, apa salahnya menerbitkan sebuah artikel yang menyindir. Bukannya itu tugas wartawan? Pikirku.
Akhirnya setelah paksaan dan perbincangan yang cukup alot, dia mau menerbitkan artikelku asal aku mau mempertanggung jawabkannya.

Artikel itu dimuat di tempat biasa, tempat kecil dengan judul "Taukah Pemerintah tentang kehidupan Rakyatnya?"
Setelah koran tersebut terbit, banyak email yang masuk ke redaksi menyampaikan kekaguman akan tulisanku. Mereka merasa terwakili dengan cerita Pak Basir yang aku kaitkan dengan isi artikelnya. Namun ada juga yang sangat keberatan dengan isinya, mereka bahkan menuduh bahwa tokoh Pak Basir itu hanya fiktif dan karanganku saja.
Namun aku cuek saja, selama mereka masih menanggapinya dalam hal wajar.

Setelah kejadian itu aku sering menemui Pak Basir dan keluarganya, hanya untuk sekedar bercerita dan berbagi pengalaman hidup.
Bagiku, keluarga Pak Basir adalah keluarga kedua dalam hidupku setelah keluargaku sendiri.


Dibuat saat mengerjakan soal TO Bhs. Inggris di Sekolah tercinta SMK Jayawisata 2 Jaktim (masih tetap menuntut keadilan Pemerintah)

0 komentar:

Posting Komentar

Copy Paste hukumannya di penjara 5 tahun lho :). Diberdayakan oleh Blogger.
 

A L T R I S E S I L V E R Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting